· Muhammad menjadi penguasa Mekkah
· Muhammad memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang meninggalkan Islam
· Muhammad menjadi penguasa Arabia
· Muhammad menghimbau para pemimpin negara tetangga untuk memeluk Islam
· Ekspedisi Tabuk dan peperangan melawan orang Kristen dan Yahudi
· Pentingnya mengumpulkan pajak bagi non-Muslim
· Sakit dan kematian Muhammad
· Setelah Muhammad: perpecahan Islam
Penaklukkan Mekkah
Tahapannya sekarang telah disiapkan yaitu untuk menaklukkan Mekkah dan kemenangan Muhammad kembali ke kampung halamannya, dimana untuk pertama kalinya ia mulai menyampaikan pesan Allah. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap menjarah Mekkah, dan berdoa: “O Tuhan, ambillah mata dan telinga dari orang Quraysh sehingga kami dapat mengejutkan mereka di negeri mereka”.(1) Kejutan itu hampir saja batal karena seorang Muslim yang mengirim surat kepada orang Quraysh yang mengingatkan mereka akan rencana-rencana Muhammad; namun, orang-orang Muslim mencegat surat itu. Si pengkhianat, Hatib bin Abu Balta’a, menjelaskan bahwa ia adalah seorang Muslim yang beriman tapi ia mempunyai kerabat-kerabat diantara orang Quraysh, termasuk seorang putra. Muhammad mengampuninya karena Hatib adalah seorang veteran Perang Badr. Kemudian ia menerima wahyu lainnya dari Allah, yang mengatakan pada Hatib bahwa sebagai seorang Muslim, perasaan kasih persaudaraannya kepada orang Quraysh adalah salah:
“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’”. (Sura 60:1-4).
Muhammad kemudian bergerak maju menuju Mekkah dengan pasukan yang, menurut beberapa laporan, terdiri dari 10.000 orang Muslim.(2) Ketika orang-orang Mekkah melihat jumlah kekuatan mereka, yang diperintahkan Muhammad untuk membuat banyak api unggun tambahan di malam hari ketika orang-orangnya berkumpul di luar kota itu, orang-orang Mekkah tahu bahwa mereka sudah kalah. Banyak dari para pejuang Quraysh yang hebat kemudian memeluk Islam, dan bergabung dengan pasukan Muhammad. Ketika mereka maju, mereka bertemu dengan Abu Sufyan sendiri, yang telah menentang Muhammad ketika ia menjadi seorang pemimpin Quraysh; tapi kini Abu Sufyan ingin menjadi seorang Muslim. Setelah diijinkan menghadap Muhammad, Abu Sufyan membacakan sebuah puisi yang beberapa barisnya berbunyi demikian:
“Aku seperti seorang yang tersesat di kegelapan malam,
Tapi kini aku dipimpin di jalan yang benar.
Aku tidak dapat menuntun diriku sendiri, dan dia yang bersama Tuhan mendatangiku
Apakah dia yang telah kusingkirkan dengan segenap kekuatanku”.
Menurut Ibn Ishaq, ketika ia tiba pada kalimat “dia yang bersama Tuhan mendatangiku, apakah dia yang telah kusingkirkan dengan segenap kekuatanku”, Muhammad “meninju dadanya dan menjelaskan, ‘Memang kau melakukannya!’(3) Tetapi ketika Muhammad berkata, “Celakalah engkau Abu Sufyan, bukankah sudah waktunya engkau mengakui bahwa aku adalah rasul Tuhan?” Abu Sufyan menjawab, “Mengenai hal itu aku masih ragu”.(4) Mendengar itu, seorang letnan Muhammad, Abbas, meresponi Abu Sufyan: “Tunduk dan bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah sebelum engkau kehilangan kepalamu”. Abu Sufyan akhirnya menurut.(5)
Orang-orang murtad harus dibunuh
Ketika Muhammad “memaksa masuk” ke Mekkah, menurut Ibn Sa’d, “orang-orang memeluk Islam dengan rela hati dan juga dengan terpaksa”.(6) Nabi Islam memerintahkan orang Muslim untuk hanya memerangi orang-orang atau kelompok-kelompok yang menahan mereka masuk ke dalam kota – kecuali sejumlah orang yang harus dibunuh, walaupun mereka telah mencari perlindungan di Ka’bah. Seorang diantaranya adalah Abdullah bin Sa’d, seorang mantan Muslim, yang pada suatu waktu dipekerjakan oleh Muhammad untuk menuliskan wahyu-wahyu Qur’an; tetapi kemudian ia murtad dan kembali kepada orang Quraysh. Ia ditemukan dan dibawa kepada Muhammad bersama saudaranya, dan memohon kepada nabi Islam untuk diberikan pengampunan: “Terimalah kesetiaan Abdullah, wahai rasul Allah!” Abdullah mengulanginya dua kali, tapi Muhammad tidak bergeming. Setelah Abdullah mengulanginya untuk ketiga kalinya, Muhammad menerimanya.
Tak lama setelah Abdullah pergi, Muhammad berpaling kepada orang-orang Muslim yang ada di ruangan itu dan bertanya: “Tidak adakah orang yang bijak diantara kamu yang akan menghadapinya ketika ia melihat bahwa aku telah menahan tanganku untuk menerima kesetiaannya dan membunuhnya?”
Para sahabatnya terperanjat dan menjawab: “Kami tidak tahu apa yang ada dalam hatimu, Rasul Allah! Mengapa engkau tidak memberi tanda pada kami dengan mata mu?”
“Tidaklah patut”, kata nabi Islam, “untuk seorang nabi menipu dengan matanya”. (7)
Bagi Muhammad, meninggalkan Islam senantiasa merupakan kejahatan yang tertinggi. Ketika ia adalah penguasa Medina, beberapa penjaga ternak datang ke kota itu dan memeluk Islam. Tetapi mereka tidak menyukai iklim Medina, maka Muhammad memberikan mereka beberapa unta dan seorang gembala; ketika mereka telah meninggalkan Medina, mereka membunuh gembala itu, melepaskan unta-unta dan menyangkali Islam. Muhammad mengejar mereka. Ketika mereka tertangkap, ia memerintahkan agar kaki dan tangan mereka di potong (sesuai dengan Sura 5:33, yang memerintahkan agar orang-orang yang menyebabkan “kerusakan di negeri” dihukum dengan mengamputasi tangan dan kaki bersilang sisi/kanan-kiri) dan mata mereka disetrika dengan besi yang dipanaskan, dan mereka ditinggal mati di padang gurun. Ia memerintahkan untuk tidak mengabulkan permohonan mereka agar diberi air minum.(8)
Tradisi mengatakan dengan jelas bahwa salah-satu alasan utama mengapa penghukuman itu dilakukan dengan sangat kejam adalah karena orang-orang itu pernah menjadi Muslim tetapi telah “menjadi pemberontak”. Muhammad memerintahkan komunitasnya untuk tidak menghukum mati seorang Muslim kecuali pembunuh, pelaku hubungan seksual yang haram, dan murtad.(9) Dengan keras ia mengatakan: “Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah dia”.(10)
Ini membuat noda yang sangat jelas (dalam Islam) sehingga para apologis di Barat dengan keras menyatakan bahwa, seperti dalam kalimat Ibrahim B. Syed, Presiden dari Islamic Research Foundation International di Louisville Kentucky, “Tidak ada catatan sejarah yang mengindikasikan bahwa Muhammad atau satupun sahabatnya pernah memerintahkan agar menghukum mati orang yang murtad”.(11) Pernyataan seperti ini mungkin dapat menentramkan orang non-Muslim yang lebih suka percaya bahwa tuntutan besar yang dikeluarkan pada tahun 2006 terhadap seorang Afghanistan yang bertobat dari Islam kepada kekristenan, yakni Abdul Rahman, adalah semacam penyimpangan. Sayangnya, klaim ini sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan hidup Muhammad. Bahwa pernyataan-pernyataan semacam ini lolos dengan mudahnya hanya menegaskan adanya kebutuhan orang-orang Barat untuk lebih mengetahui perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Muhammad yang sesungguhnya – yang membuat tindakan-tindakan negara-negara Islam lebih jelas terlihat daripada perkataan para apologis Islam di Barat.
Ada banyak lagi di Mekkah yang ada dalam daftar orang-orang yang harus segera dibunuh: Abdullah bin Khatal, seorang yang berpaling dari Islam; al-Huwayrith bin Nuqaydh, yang telah menghina Muhammad, dan beberapa orang lainnya.
Muhammad di Ka’bah
Ketika seluruh kota itu telah dilumpuhkan, nabi Islam menunggangi seekor unta menuju Ka’bah. Ia mendapati Ka’bah dipenuhi dengan berhala – semuanya berjumlah 360 – dan ditulis dalam Qur’an: “...Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Sura 17:81). Ia memerintahkan agar semua berhala dibakar kecuali patung Yesus dan Maria.(13) Kemudian ia berdiri di pintu kuil itu dan mengumumkan:
“Setiap klaim hak istimewa atau darah atau harta milik kularang kecuali pemeliharaan kuil dan memberi minum para peziarah. ....Oh orang Quraysh, Tuhan telah mengambil dari kamu kesombongan paganisme dan penghormatan kepada leluhur. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari debu.”
Para pemimpin Quraysh berkumpul dan mendengarkan dengan seksama, menunggu nabi Islam untuk mengatakan pada mereka nasib mereka. Akhirnya ia berpaling kepada mereka dan bertanya, “Wahai Quraysh, menurutmu apa yang akan kulakukan padamu?”
Mereka menjawab mereka yakin bahwa ia akan berlaku baik pada mereka: “Engkau adalah seorang saudara yang mulia, putra dari seorang saudara yang mulia”.
Maka demikianlah adanya. “Pergilah”, kata nabi Islam, “karena kalian adalah orang-orang yang telah dibebaskan”. Ia membiarkan mereka hidup walupun, menurut tradisi Islam mula-mula, “Tuhan telah memberikannya kuasa atas hidup mereka dan mereka adalah tawanan perangnya”.(14)
Orang-orang Mekkah kini berkumpul untuk membayar upeti kepada Muhammad. Ini adalah saat yang terbesar dalam karir kenabiannya; delapan tahun sebelum ia dibuang dari kampung halamannya, dan kini mereka tersungkur di kakinya. Salah satu sahabat terdekatnya, Umar, membuat semua pria berjanji untuk menaati Allah dan Muhammad, saat nabi memperhatikan. Ketika mereka telah selesai, para wanita mulai mendekat – termasuk Hind bint ‘Utba, wanita yang telah memutilasi tubuh paman Muhammad, Hamza, dalam Perang Uhud. Hind, yang takut jika Muhammad akan menghukumnya, datang ke hadapannya dengan menyamar dan berkerudung. Muhammad memberikannya satu seri pengajaran moral Islam: jangan mempersekutukan Allah dengan yang lainnya, jangan mencuri, jangan berzinah, dan masih banyak lagi. Melalui jawaban-jawabannya, Muhammad mengetahui kalau wanita itu adalah Hind yang meminta pengampunannya. Ketika Muhammad berkata kepadanya, “dan kamu tidak boleh membunuh anak-anakmu”, Hind berkata kepada Muhammad: “Aku membesarkan mereka sejak mereka masih kecil dan engkau membunuh mereka pada hari (perang) Badr ketika mereka telah dewasa, maka engkau adalah orang yang harus tahu tentang mereka!” Ini membuat Umar tertawa terbahak-bahak.
Penghormatan wanita itu diterima, Ali memberikan pada Muhammad kunci Ka’bah, tetapi Muhammad mengembalikannya kepada juru kunci kuil itu sedang kuil itu adalah pusat ziarah pagan, dan ia berkata: “Inilah kuncimu, hari ini adalah hari niat baik”.(15)
Sehari setelah penaklukkan Mekkah, seorang Muslim membunuh seorang pagan, sehingga Muhammad kemudian menyampaikan pernyataan ini, yang menekankan kesucian Mekkah, melarang pembunuhan di sekitar daerah itu:
“Tuhan menjadikan Mekkah suci pada hari Ia menciptakan langit dan bumi, dan inilah tempat yang paling suci hingga hari kebangkitan. Oleh karena itu barangsipa yang percaya kepada Tuhan dan hari terakhir dilarang untuk menumpahkan darah, atau menebang pohon disini,...Jika ada berkata, ‘Rasul membunuh orang di Mekkah, katakanlah Tuhan mengijinkan rasul-Nya untuk berbuat demikian tetapi Ia tidak mengijinkan kamu...Jika seseorang dibunuh setelah persinggahanku disini umatnya mempunyai pilihan: mereka dapat mengambil nyawa si pembunuh atau uang darah”.(16)
Perang Hunayn dan penguasaan atas Arabia
Muhammad adalah penguasa Mekkah, tetapi ada satu halangan besar sebagai tambahan antara dia dengan penguasa seluruh jazirah Arab. Malik ibn ‘Awf, seorang anggota suku Thaqif di kota Ta’if, di selatan Mekkah, mulai mengumpulkan kekuatan untuk memerangi orang-orang Muslim. Orang-orang Ta’if telah menolak Muhammad dan memperlakukannya dengan buruk ketika ia mengutarakan klaim kenabiannya kepada mereka 10 tahun silam. Mereka adalah saingan lama orang Quraysh, dan menganggap berpalingnya orang Quraysh kepada Islam sebagai sebuah kehinaan. Malik mengumpulkan pasukan dan bergerak maju menghadapi orang Muslim; Muhammad menemuinya dengan kekuatan pasukan sebanyak 12.000 orang, dan berkata: “Kita tidak akan dikalahkan hari ini karena kekurangan orang”.(17)
Kedua pasukan itu bertemu di sebuah wadi – sebuah palung sungai kering – yang disebut Hunayn, dekat Mekkah. Malik dan orang-orangnya tiba lebih dulu dan mengambil posisi yang memberi mereka keuntungan taktis yang sangat besar. Orang-orang Muslim terkepung, walau jumlah mereka lebih banyak. Ketika mereka berhamburan dan lari tunggang-langgang, Muhammad berteriak: “Kemana kalian pergi? Datanglah padaku. Akulah rasul Tuhan. Akulah Muhmmad putra ‘Abdullah”.(18) Beberapa orang Muslim kembali dikuatkan, dan perlahan-lahan keadaan mulai berimbang – walau dengan banyaknya korban jiwa di kedua belah pihak.
Akhirnya orang-orang Muslim mulai berjaya, menghalau pasukan besar terakhir yang berdiri antara Nabi islam dengan penguasa Arabia. Setelah peperangan itu, Muhammad menerima wahyu lain yang menjelaskan bahwa orang-orang Muslim mendapatkan kemenangan oleh karena adanya pertolongan supranatural: “Kemudian Allah mengirimkan ketenangan kepada rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir...” (Sura 9:26).
Dengan kalahnya Malik, orang-orang Muslim kemudian menaklukkan Ta’if dengan sedikit perlawanan. Saat ia memasuki kota itu, Muhammad berhenti di bawah sebuah pohon, dan mencari properti yang disukainya, dan mengirim pesan kepada pemiliknya: “Kalian keluar atau kami akan menghancurkan dindingmu”.(19) Namun si pemilik menolak untuk menghadap Muhammad, maka orang-orang Muslim benar-benar menghancurkan propertinya.(20) Namun demikian, walau berusaha keras untuk memenangkan pemimpin-pemimpin suku Ta’if kepada Islam, Muhammad bersikap lunak terhadap mereka. Dalam mendistribusikan rampasan perang, ia juga memberikannya kepada beberapa orang Quraysh yang baru saja memeluk Islam, berharap untuk memperkuat persekutuan mereka dengan Islam. Namun demikian, sikapnya yang pilih kasih itu membuat orang bersungut-sungut. Seorang Muslim mendekatinya dengan berani, “Muhammad, aku telah melihat apa yang kau lakukan hari ini...Menurutku engkau tidak berlaku adil”.
Nabi Islam meragukan hal itu. “Jika keadilan tidak ditemukan padaku maka dimana lagi kau dapat menemukannya?”(21)
Tentu saja, orang-orang Muslim senantiasa mendapatkan keadilan pada Muhammad, dan hanya padanya. Perkataan dan perbuatannya menjadi teladan tertinggi mereka dalam bertingkah-laku, membentuk satu-satunya standar absolut dalam Islam: apapun yang diteladankan oleh nabi, kecuali insiden-insiden seperti ayat-ayat setan yang kemudian dibatalkannya, adalah baik.
Undangan kepada Islam
Nabi Islam kini hanya menghadapi sedikit perlawanan, dan menjadi penguasa seluruh jazirah Arab. Ia mulai mengincar wilayah-wilayah yang lebih besar lagi, melirik perbatasan Byzantium dan wilayah-wilayah Persia. Sebelumnya ia telah menulis satu seri surat kepada para penguasa negara-negara besar di sekeliling Arabia, memanggil mereka untuk memeluk agamanya yang baru. Kepada Heraclius, Kaisar Romawi Timur di Konstantinopel, ia menulis:
“Maka kini, aku mengundangmu kepada Islam (yaitu tunduk kepada Allah), peluklah Islam maka kamu akan selamat; peluklah Islam dan Allah akan mengaruniakan pahala ganda. Tetapi jika engkau menolak undangan dari Islam ini, engkau akan bertanggung-jawab karena telah menyesatkan para petani (yaitu bangsamu)”.(22)
Kemudian surat itu mengutip Qur’an: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah...’” (Sura 3:64).
Heraclius menolak Islam, dan segera orang-orang Byzantium mengetahui bahwa para pejuang jihad benar-benar tidak memberikan keamanan kepada orang-orang yang mengambil keputusan seperti itu. Boleh jadi Heraclius mempunyai firasat akan hal ini; menurut sebuah hadith, setelah surat itu dibacakan ia berpaling kepada penerjemah dan berkata: “Jika apa yang kau katakan itu benar, maka ia (nabi) akan mengambil alih tempat yang ada di antara kedua kakiku”.(23) Menurut beberapa tradisi yang diedarkan oleh Ibn Sa’d dan yang lainnya Heraclius tidak mau menerima Islam, tetapi melihat itu para bangsawannya lari tunggang-langgang seperti keledai-keledai liar, mendengus dan mengangkat salib mereka”. Untuk tetap berdamai dengan mereka, Heraclius meninggalkan gagasan itu.(24)
Muhammad tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan juga dari Chosroes, penguasa Persia. Setelah membaca surat nabi Islam, Chosroes dengan penuh penghinaan merobek-robek surat itu. Ketika hal ini terdengar oleh Muhammad, ia memohon agar Allah menghancurkan Kaisar Persia dan para pengikutnya tanpa sisa.(25) “Ketika Khosrau [Chosroes] binasa, tidak akan ada (lagi) Khosrau setelah dia, dan ketika Kaisar binasa, tidak akan ada lagi Kaisar setelah dia. Demi Dia yang mengenggam hidup Muhammad, kamu akan menghabiskan harta benda mereka berdua di jalan Allah”.(26)
Nabi Islam mengeluarkan perintah ekspansi ini sebagai salah satu kewajiban bagi komunitasnya yang baru. Ia menerima sebuah wahyu dari Allah yang memerintahkan orang Muslim untuk memerangi orang Yahudi dan orang Kristen hingga mereka menerima hegemoni Islam, yang dilambangkan dengan pembayaran pajak (jizya), dan tunduk kepada peraturan-peraturan yang diskriminatif yang menjamin bahwa mereka akan terus diingatkan akan posisi mereka yang rendah (Sura 9:29). Ia mengatakan kepada para pengikutnya untuk menawarkan orang-orang yang tidak beriman ini agar memeluk Islam, sama seperti ia juga telah menawarkannya kepada para penguasa, dan jika mereka menolak maka himbaulah mereka untuk membayar upeti kepada pemimpin negara Islam, namun jika inipun masih ditolak, maka mereka harus diperangi.(27)
Orang Yahudi dan orang Kristen yang setuju untuk membayar jizya disebut sebagai “kaum dhimmi”, yang berarti orang-orang yang “dilindungi” atau “bersalah” – kata itu dalam bahasa Arab mengandung kedua pengertian itu. Mereka “dilindungi” karena, sebagai Para Ahli Kitab, mereka telah menerima wahyu sejati (“Kitab”) dari Allah sehingga status mereka berbeda dari kaum pagan dan para penyembah berhala seperti orang Hindu dan Budha. (Berdasarkan sejarah, Hindu dan Budha diperlakukan lebih buruk lagi oleh para pejuang Islam, walaupun pada prakteknya para penguasa Muslim mereka memberikan mereka status sebagai dhimmi). Mereka “bersalah” karena mereka bukan hanya menolak Muhammad sebagai nabi, namun mencemarkan wahyu sah yang mereka terima dari Allah.
Oleh karena kesalahan itu, hukum Islam mengatakan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen dapat tinggal di negara Islam, tapi tidak setara dengan orang-orang Muslim. Seorang ahli hukum Muslim menjelaskan bahwa Khalif harus “berjihad terhadap mereka yang melawan Islam setelah dihimbau untuk memeluk Islam hingga mereka tunduk atau mau hidup sebagai komunitas dhimmi yang dilindungi – sehingga hak-hak Allah, kiranya Dia ditinggikan, dapat ‘dijunjung lebih tinggi dari semua agama (lainnya)’ (Sura 9:33)”.(28) Sementara orang Yahudi, Kristen dan non-Muslim lainnya diijinkan untuk menjalankan agama mereka, mereka harus melakukannya di bawah kondisi-kondisi yang sangat ketat untuk mengingatkan mereka setiap saat akan status mereka sebagai warga negara kelas dua.
Muhammad juga memperpanjang “dhimma” hingga kepada Zoroaster, yaitu sebuah sekte religius Persia. Ketika seorang pemimpin suku yang baru memeluk Islam menulis kepada nabi Islam dan menanyakan padanya apa yang harus dilakukannya terhadap para penganut Zoroaster dan orang Yahudi yang ada di wilayahnya, Muhammad menjawab: “Orang yang tetap menjadi seorang Magian atau seorang Yahudi, harus membayar jizyah”. Dan ia menulis kepada para penganut Zoraster yang isinya kemudian membantu meletakkan gagasan pada orang Muslim bahwa orang non-Muslim adalah najis: di samping menghimbau agar mereka membayar jizya, ia mengatakan pada mereka bahwa orang Muslim tidak akan makan daging hingga mereka dibantai.(29)
Penyerangan Tabuk
Setelah memerintahkan para pengikutnya untuk memerangi orang Kristen, Muhammad berniat untuk memberi teladan kepada para pengikutnya. Pada 630 M, ia memerintahkan orang-orang Muslim untuk mulai mempersiapkan penyerangan di Tabuk, kemudian sebagian dari kekaisaran Byzantium. Tetapi banyak orang Muslim menolak. Seseorang datang menemui Muhammad dan meminta agar ia diperbolehkan tidak ikut: “Maukah engkau mengijinkan aku untuk tinggal di belakang dan tidak mencobai aku, karena semua orang tahu bahwa aku sangat kecanduan wanita dan aku takut jika aku melihat para wanita Byzantium aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri”.(30)
Muhammad mengijinkannya, tapi kemudian menerima sebuah wahyu dari Allah, menghitung orang-orang yang membuat permintaan semacam itu diantara orang-orang Munafik: “...Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir” (Sura 9:49). Yang lainnya memohon untuk tidak ikut karena udara panas yang menyengat pada waktu itu di Arabia, sehingga kemudian turunlah sebuah wahyu lagi: “...dan mereka berkata:’Janganlah kamu berangkat (pergi berperang)dalam panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahanam itu lebih sangat panas(nya)’. Jika mereka mengetahui” (Sura 9:81).
Perjalanan itu memang benar-benar sulit, dan ketika Muhammad dan pasukan Muslimnya yang besar tiba di benteng pertahanan Byzantium di utara Arabia, mereka menemukan bahwa pasukan Byzantium telah mengundurkan diri dan memilih untuk tidak menghadapi mereka. Tetapi perjalanan itu tidaklah sia-sia: Muhammad menerima pernyataan tunduk dari beberapa pemimpin wilayah, yang setuju untuk membayar jizya dan tunduk kepada “perlindungan orang-orang Muslim”. Satu diantara mereka, Ukaydir bin ‘Abdu’l-Malik, adalah seorang pemimpin Kristen dari Duma. Para pejuang jihad yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid yang kejam menangkapnya ketika ia sedang berburu ternak; saudara Ukaydir dibunuh dalam perkelahian.
Orang-orang Muslim menyita jubah brokat emas yang dikenakan Ukaydir dan mempersembahkannya kepada Muhammad yang hanya menyengir: “Demi Dia yang menggenggam hidupku, sapu tangan Sa’d b. Mu’adh” – pejuang Muslim yang telah memerintahkan pembantaian massal orang Yahudi Qurayzah – lebih baik daripada ini”.(31) Ukaydir setuju untuk membayar jizya, dan Muhammad memilih untuk tidak memberinya hukuman mati. Tidak lama kemudian nabi Islam kembali ke Medina, yang dijadikannya sebagai markas besarnya bahkan setelah penaklukkan Mekkah.
Wahyu-wahyu yang diterima Muhammad sehubungan dengan penyerangan tabuk adalah yang paling keras terhadap orang Yahudi dan Kristen dibandingkan dengan wahyu-wahyu yang telah diterimanya sebelumnya. Wahyu-wahyu itu mengatakan bahwa orang Yahudi menyebut Ezra sebagai putra Tuhan, sama seperti orang Kristen menyebut Kristus sebagai Putra Tuhan, dan mengumumkan bahwa kedua kelompok ini telah mendatangkan murka Tuhan (Sura 9:30). Allah mengkhususkan diri untuk mengkritik orang-orang Kristen:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah TuhanYang Maha Esa...sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu” (Sura 9:31-35).
Murka Muhammad juga tertuju kepada orang-orang Muslim yang mengabaikan utusan Allah. Dalam perjalanan kembali dari Tabuk, ia mendapat kabar tentang sebuah mesjid yang telah dibangun sebuah kelompok Muslim untuk menentang otoritasnya. Allah memberikannya sebuah wahyu yang memperjelas niat jahat para pendiri mesjid itu: “...Mereka sesungguhnya bersumpah: ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan’. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” (Sura 9:107). Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk membakar habis mesjid itu hingga rata dengan tanah.(32)
Nabi Islam menerima lebih banyak lagi wahyu yang menghina orang-orang yang telah menolak untuk ikut serta dalam ekspedisi Tabuk. Allah mengingatkan orang-orang Muslim bahwa kewajiban mereka yang pertama adalah kepada-nya dan nabi-Nya, dan bahwa orang-orang yang menolak untuk berjihad akan menghadapi penghukuman yang berat:
“...apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain...” (Sura 9:38-39).
Bukannya Muhammad memerlukan bantuan mereka:
“...sesungguhnya Allah telah menolongnya (Muhammad) ketika orang-orang kafir (musyirikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: ‘Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita’. Maka Allah menurunkan ketengan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah” (Sura 9:40).
Walaupun Muhammad mungkin tidak memerlukan bantuan, jihad demi Allah (jihad fi sabil Allah, yang merupakan teologi bersenjata Islam untuk mendirikan hegemoni tatanan sosial Islam) adalah amal terbaik yang dapat dilakukan seorang Muslim. (Sura 9:41). Nabi Islam menekankan hal ini dalam banyak kesempatan. Pernah seseorang memohon padanya, “Tuntunlah aku kepada perbuatan yang setara dengan Jihad (pahalanya)”.
Muhammad menjawab: “Aku tidak menemukan ada perbuatan yang seperti itu”.(33)
Bagi orang-orang Muslim yang tidak mendampinginya ke Tabuk, Muhammad mempunyai perkataan yang lebih keras lagi dari Allah. Ia menurunkan wahyu yang menuduh mereka lebih memilih hidup yang mudah daripada perjalanan jihad yang sukar:
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu’. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta” (Sura 9:42).
Allah bahkan menegur nabi-Nya karena telah membiarkan orang-orang Muslim tidak ikut dalam ekspedisi Tabuk. (Sura 9:43). Ia mengatakan pada Muhammad bahwa orang Muslim yang sejati tidak ragu untuk berjihad, bahkan hingga merelakan harta milik mereka dan hidup mereka sendiri. Mereka yang menolak melakukan hal ini bukanlah orang-orang yang beriman (Sura 9:44-45).
Yang terutama dikritik adalah orang Arab Badui: “Orang-orang Arab Badui itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Sura 9:97). Allah menuduh beberapa orang Badui bersekongkol melawan Muhammad, dan memperingatkan bahwa rencana jahat mereka itu akan mendatangkan marabahaya bagi mereka (Sura 9:98).
Muhammad membacakan sebuah wahyu yang mengatakan padanya untuk tetap tegas terhadap orang-orang munafik seperti itu – dan terhadap semua orang Munafik, walaupun rencana mereka untuk melawannya telah gagal: “Hai Nabi, berjihadlah (melawan)orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam,...” (Sura 9:73-74).
Kata “berjihadlah”, dalam konteks keadaan di seputar Muhammad, tidak diragukan lagi adalah sebuah perintah militer – terutama berdasarkan kenyataan bahwa Allah menjaminkan Firdaus kepada mereka yang akan “berjuang di jalan Allah dan akan membunuh dan dibunuh” (Sura 9:111). Pada kesempatan lain, Muhammad berkata: “Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang, hingga mereka menyaksikan kenyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan percaya padaku (bahwa) aku adalah utusan (dari Tuhan) dan dalam semua yang telah kubawa. Dan apabila mereka melakukannya, darah dan kekayaan mereka terjamin perlindungannya demi aku kecuali jika itu dibenarkan oleh hukum, dan urusan-urusan mereka adalah dengan Allah”.(34) Kebalikannya juga benar: jika mereka tidak menjadi orang Muslim, darah dan kekayaan mereka tidak mendapat jaminan perlindungan dari orang Muslim.
Mengumpulkan Jizya
Kini tidak diragukan lagi kalau Muhammad adalah penguasa Arabia. Para pemimpin Arab dan suku-suku yang belum tunduk kepada otoritasnya kini mulai melakukan perjalanan ke Medina untuk memeluk agamanya dan memberikannya upeti. Kepada negara-negara yang tidak datang, Muhammad mengirimkan para pejuang jihad. Ia mengirimkan pejuang yang sangat ditakuti, yaitu Khalid bin al-Walid kepada suku al-Harith, memerintahkannya untuk menghimbau mereka agar memeluk Islam tiga hari sebelum ia menyerang mereka, dan ia juga diperintahkan untuk membatalkan perang jika mereka mau memeluk Islam. Khalid berkata kepada para pemimpin suku: “Jika kalian menerima Islam kalian akan selamat” – dan kemudian suku itu melakukannya. Khalid menyampaikan hal ini kepada nabi Islam dan mengirimkan seorang utusan dari suku itu ke Medina untuk menemui Muhammad, yang mengatakan kepada mereka: “Jika Khalid tidak menulis kepadaku bahwa kamu telah menerima Islam dan tidak berperang, aku akan melemparkan kepalamu ke bawah kakimu”.(35)
Dari Himyar di Arab selatan datang sepucuk surat yang memberitahu Muhammad bahwa raja-raja di wilayah itu telah memeluk Islam dan mengobarkan perang dalam nama Allah terhadap wilayah-wilayah yang tetap menyembah berhala. Muhammad merasa senang, dan memberitahu mereka bahwa “Utusan kalian telah menjumpaiku ketika aku kembali dari negeri Byzantium dan ia telah menemui kami di Medina dan menyampaikan pesanmu dan beritamu dan memberitahu kami tentang (agama) Islam kalian dan bagaimana kalian membunuh para politeis. Tuhan telah menuntunmu dengan bimbingan-Nya”.
Ia memperinci kewajiban-kewajiban mereka sebagai orang Muslim dan memerintahkan agar orang Yahudi dan Kristen yang ada di wilayah mereka harus diundang untuk memeluk Islam, tapi jika mereka menolak, mereka “tidak usah dipalingkan” dari agama mereka. Namun, orang Yahudi dan orang Kristen di negeri Muslim yang baru ini “harus membayar pajak – bagi setiap orang dewasa, pria atau wanita, orang merdeka atau budak, satu dinar penuh” – dan ia memberikan perintah bagaimana jumlah itu harus dihitung – “atau ekuivalennya dengan pakaian”. Ia mengingatkan para raja bahwa hidup orang Yahudi dan orang Kristen bergantung pada pembayaran pajak ini: “Orang yang membayarkannya kepada rasul Tuhan mendapat jaminan dari Tuhan dan rasul-Nya, dan orang yang menahannya adalah musuh Tuhan dan rasul-Nya”.(36)
Pada puncaknya Nabi Islam memutuskan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen tidak lagi diijinkan berada di Arabia sama sekali. “Aku akan mengusir orang Yahudi dan orang Kristen dari jazirah Arab”, katanya kepada para sahabatnya, “dan tidak akan menyisakan satupun kecuali orang Muslim”.(37) Ia memberikan perintah semacam itu saat ia terbaring di tempat tidurnya menjelang ajal. Pada masa kini Kerajaan Arab Saudi berusaha dengan keras agar keinginan nabi menjelang ajalnya dilakukan dengan seksama.
Pajak jizya sangat penting karena, di samping perampokan, yang mendatangkan hasil yang tidak konsisten, pajak ini merupakan sumber pendapatan utama orang Muslim. Ini jelas dalam sebuah surat yang dikirim Muhammad kepada sebuah suku Yahudi, yaitu Bani Janbah. Pertama ia meyakinkan mereka bahwa “di bawah jaminan Allah dan jaminan rasul-Nya tidak akan ada kejahatan ataupun penindasan terhadap kamu. Sesungguhnya rasul Allah akan membelamu”. Namun: “Sesungguhnya diwajibkan bagimu untuk membayar seperempat dari hasil panen pohon kurma, dan seperempat dari yang kamu dapatkan dari sungai-sungai, dan seperempat dari apa yang ditenun para wanitamu”.(38) Demikian pula, kepada seorang pemimpin Kristen Muhammad menulis:
“Aku tidak akan memerangi kamu kecuali aku menulis kepadamu sebelumnya. Maka, bergabunglah dengan Islam atau membayar jizyah. Taatilah Allah dan rasul-Nya dan para utusan rasul-Nya, hormatilah mereka dan pakaikanlah mereka pakaian-pakaian yang bagus...Berikanlah Zayd pakaian yang bagus. Jika para utusanku senang dengan kamu, aku juga akan senang padamu...Bayarlah tiga wasaq gandum kepada Harmalah...”(39)
Pajak berat yang membebani orang Yahudi dan orang Kristen di wilayah-wilayah Muslim mendatangkan hak untuk diijinkan hidup dalam kedalamaian yang relatif, dan ini kemudian menjadi sumber pemasukan utama bagi kekaisaran-kekaisaran Islam yang besar untuk membawa jihad masuk ke Afrika, Eropa dan Asia.(40)
Ziarah terakhir: hak-hak wanita dan pengusiran kaum pagan
Setelah kembali dari Tabuk, Muhammad mengadakan satu ziarah terakhir ke Mekkah, dimana ia memberi instruksi kepada orang-orang Muslim tentang bagaimana mereka harus melaksanakan ibadah haji, yaitu ziarah besar yang harus dilakukan semua Muslim ke Mekkah setidaknya sekali seumur hidup. Ia berkata kepada para peziarah, membuat berbagai ketentuan, termasuk deklarasi bahwa “Tuhan telah menetapkan bahwa tidak boleh ada riba”. Dengan pengecualian terhadap orang-orang yang tidak beriman, orang-orang Muslim setidaknya dengan seksama telah mengikuti larangan ini sepanjang sejarah; pada jaman sekarang hal ini telah membawa kepada ditetapkannya pinjaman-pinjaman bebas bunga dan berbagai pengaturan lain untuk mengakomodasi orang Muslim di Barat.
Muhammad juga menetapkan penanggalan Islam yang terdiri dari 12 bulan, tanpa tambahan bulan untuk membedakan antara penanggalan bulan dan penanggalan matahari; maka bulan-bulan pada kalender Islam tidak mempunyai waktu yang tetap, tapi bergerak sepanjang tahun. Kemudian ia kembali kepada hubungan antara suami dan istri:
“Kamu berhak atas istri-istrimu dan mereka berhak atas kamu. Kamu mempunyai wewenang untuk melarang mereka mencemarkan tempat tidurmu dan mereka tidak boleh bertingkah-laku yang tidak layak secara terbuka. Jika mereka melakukannya, Tuhan mengijinkanmu untuk pisah ranjang dan memukuli mereka namun tidak dengan keras. Jika mereka bertobat dari melakukan hal-hal itu mereka berhak untuk makan dan berpakaian dengan pantas. Berikan perintah kepada kaum wanita dengan lembut, karena mereka adalah tawanan dan kamu tidak mengontrol kepribadian mereka. Kamu hanya mengambil mereka sebagai amanah dari Tuhan, dan kamu dapat menikmati mereka melalui perkataan Tuhan...”(41)
Ini sesuai dengan wahyu yang diterima Muhammad dari Allah mengenai wanita, termasuk memukuli istri-istri yang tidak taat:
“...Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (Sura 4:34).
Muhammad juga memberikan waktu 4 bulan bagi orang-orang yang tidak beriman untuk meninggalkan Arabia, menyampaikan sebuah wahyu dari Allah dan menghimbau mereka sekali lagi untuk memeluk Islam (Sura 9:1-3).
Orang-orang yang tidak beriman ini adalah orang-orang Arab yang menyembah berhala, bukan orang Yahudi dan orang Kristen – oleh karena disini tidak disebutkan mengenai pemungutan jizya kepada mereka seperti yang ia lakukan kepada orang Yahudi dan Kristen. Bagi orang Yahudi dan kristen pilihannya adalah memeluk Islam, tunduk, atau perang; bagi para penyembah berhala pilihannya hanyalah memeluk Islam atau perang. Ia menekankan bahwa orang-orang tidak beriman yang memeluk Islam yang dapat tetap memelihara persekutuan yang telah mereka buat dengan orang-orang Muslim. Orang-orang Muslim harus membunuh yang lainnya (tidak memeluk Islam) setelah jaminan keamanan selama 4 bulan itu berakhir:
“...Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan bagi mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang...” (Sura 9:4-6).
Untuk “Bertobat” dan mendirikan salat serta menunaikan zakat” berarti memeluk Islam: kata bahasa Arab yang digunakan disini adalah salat untuk sembahyang dan zakat untuk amal/sedekah: ini adalah dua hal yang dikenal sebagai Rukun Islam. Hanya dengan memeluk Islam maka nyawa orang yang tidak beriman akan diselamatkan, dan hanya pengharapan bahwa mereka akan menerima Islam yang akan membuat mereka menerima kemurahan dari orang-orang Muslim, karena dosa-dosa orang yang tidak beriman itu sudah melampaui batas (Sura 9:6-11).
Maka ketika pasukan jihad Islam menyerang orang-orang Hindu di India, mereka bersikap lebih brutal daripada ketika mereka menyerang Eropa – karena orang Kristen mempunyai pilihan untuk hidup sebagai kaum dhimmi, sedangkan para pagan India tidak (walaupun untuk alasan-alasan praktis mereka kemudian diberikan status sebagai dhimmi). Sejarawan Sita Ram Goel mengemukakan bahwa orang-orang Muslim yang menginvasi India tidak menghormati aturan-aturan perang yang telah berlaku selama berabad-abad:
“Imperialisme Islam datang dengan aturan baru – Sunnah [tradisi] nabi. Sunnah mewajibkan mereka untuk menghabisi populasi/warga sipil yang tidak berdaya setelah peperangan itu dimenangkan. Sunnah mewajibkan mereka untuk membumi-hanguskan desa-desa dan kota-kota setelah para penjaganya mati dalam peperangan atau telah melarikan diri. Sapi-sapi, kaum Brahmin, dan para Biksu mendapat perhatian khusus dari mereka dalam pembantian massal orang-orang yang tidak terlibat dalam perang. Kuil-kuil dan biara-biara menjadi target spesial mereka untuk pesta gila-gilaan, penjarahan dan pembakaran. Orang-orang yang tidak mereka bunuh, ditawan dan dijual sebagai budak. Rampasan perang yang banyak dibagi-bagikan, bahkan dijarah dari mayat-mayat, dan merupakan ukuran keberhasilan dari misi militer. Mereka melakukan semua ini sebagai para mujahid (para pejuang suci) dan ghazi (para pembunuh orang kafir) sebagai pelayanan kepada Allah dan nabi-Nya yang terakhir.(42)
Pembunuhan para pujangga
Pada titik ini Muhammad berketetapan untuk menghapuskan semua penentang pemerintahannya yang masih tersisa. Kini ia mengincar dua orang penyair, yaitu Abu ‘Afak dan ‘Asma bint Marwan, yang telah menghina cita-citanya untuk menjadi nabi dalam syair-syair mereka.
Abu ‘Afak diperkirakan telah berusia lebih dari 100 tahun, dan telah dengan berani mengkritik Muhammad melalui syairnya berkenaan dengan pembunuhan yang dilakukan Muhammad terhadap lawan-lawannya yang lain. Muhammad bertanya kepada orang-orangnya, “Siapa yang akan membereskan penjahat ini untukku?” Ia mendapatkan seorang sukarelawan muda yang bernama Salim bin ‘Umayr, yang menghabisi penyair tua itu ketika ia sedang tidur.(43)
‘Asma bint Marwan, seorang penyair wanita, menjadi sangat marah mendengar kabar mengenai pembunuhan Abu ‘Afak. Ia menulis syair yang menjelek-jelekkan orang-orang Medina karena telah menaati “seorang asing yang tidak berasal dari kalanganmu” dan bertanya, “Tidak adakah orang yang terhormat yang dapat menyerangnya tiba-tiba dan menghabisi pengharapan mereka yang menantikan penghargaan darinya?”(44)
Ketika Muhammad mendengar mengenai hal ini, ia mencari seorang sukarelawan untuk membunuh wanita itu: “siapakah yang akan menyingkirkan anak perempuan Marwan untukku?” seorang Muslim bernama ‘Umayr bin ‘Adiy al-Khatmi mengambil tugas itu, dan membunuhnya juga bayi yang sedang dikandungnya malam itu juga. Tetapi setelah ia melakukan perbuatan itu, ‘Umayr mulai kuatir jangan-jangan ia telah melakukan dosa besar. Muhammad meyakinkannya: “Engkau telah menolong Tuhan dan rasul-Nya, wahai ‘Umayr!” Tapi akankah Ia mendatangkan penghukuman?
“Dua kambing”, jawab nabi Islam, “tidak akan saling membenturkan kepala mereka untuk wanita itu”.
Para pria dari suku ‘Asma bint Marwan, yaitu Bani Khatma, “melihat kekuatan Islam” dalam peristiwa pembunuhan wanita itu – demikian diceritakan oleh Ibn Ishaq. Mereka kemudian mengakui Muhammad sebagai Nabi Allah.(45)
Sakit yang diderita Muhammad di akhir hidupnya
Muhammad sedang mengkonsolidasi kekuatannya dan berencana untuk melakukan ekspansi lanjutan dari kekaisarannya yang sedang berkembang – ia telah memerintahkan para pejuang jihad untuk menyerang benteng-benteng pertahanan Byzantium di Syria dan Palestina – ketika ia jatuh sakit. Berdasarkan tradisi Islam, ia telah menubuatkan kedatangan akhir hidupnya. Beberapa bulan sebelum sakitnya dimulai, ia menerima satu wahyu Qur’an singkat yang terakhir, dan ia percaya bahwa wahyu itu mengatakan padanya untuk meminta kemurahan Allah dalam ia mempersiapkan kematiannya sendiri: “Apabila telah datang pertolongan dari Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Tobat” (Sura 110:1-3).(46) Aisha kemudian menceritakan bahwa Muhammad berkata padanya: “Jibril biasa membacakan Qur’an kepadaku sekali setahun dan tahun ini dua kali, jadi aku merasa ajalku telah dekat”.(47)
Sakit terakhir yang diderita nabi Islam bermula pada suatu hari ketika Aisha mengeluh ia sakit kepala. Muhammad berkata bahwa ia berharap bahwa umurnya akan lebih panjang daripada Aisha, tapi ia tahu itu tidak akan terjadi. Mengenai sakit kepala Aisha, ia berkata: “ Aku berharap itu telah terjadi ketika aku masih hidup, karena aku akan meminta pengampunan Allah bagimu dan memanggil Allah bagimu”.
Aisha menjawabnya dengan sinis: “Demi Allah, menurutku kau ingin agar aku mati; dan jika hal ini terjadi, kau akan menghabiskan sisa hari ini dengan tidur dengan salah-satu istri-istrimu!”
Tetapi Muhammad tidak sedang ingin bercanda. Ia mengatakan pada Aisha bahwa dialah yang sedang menderita sakit kepala yang hebat, dan menekankan bahwa sakitnya itu akan berakhir dengan kematian.(48) Ketika sakitnya semakin parah, ia kuatir kalau ia harus pindah, menghabiskan tiap malam dengan istri yang berbeda, seperti yang selalu dilakukannya sejak ia mulai mempraktekkan poligami. Ia mulai suka berteriak dengan kekuatiran, “Besok aku akan ada dimana? Besok aku akan ada dimana?” Akhirnya istri-istrinya yang lain mengijinkannya untuk tinggal di rumah istri kesayangannya, Aisha.(49)
Seperti yang telah kita lihat, ia mengalami sakit yang mengingatkannya akan peristiwa ia diracun di Khaybar beberapa tahun silam: “Oh Aisha! Aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan di Khaybar, dan saat ini, aku merasa seakan-akan urat nadiku dipotong dari racun itu”.(50)
Saat ia terbaring sakit, berulangkali ia mengucapkan dua Sura dari Qur’an yang kini ditempatkan di akhir kitab itu, yang dikenal dengan Al-Mu’awwidhatan (dua Sura mengenai berlindung pada Allah dari yang jahat):
“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki’” (Sura 113:1-5).
Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari golongan jin dan manusia’” (Sura 114:1-6). (51)
Ia meminta kepada orang-orang beriman yang telah berkumpul di sekitar tempat tidurnya untuk memberinya sesuatu untuk ditulisi, “supaya aku dapat menuliskan padamu sesuatu sehingga kamu tidak akan tersesat”. Tetapi orang-orang Muslim itu malah sibuk memperdebatkan betapa parah sakitnya itu, hingga akhirnya ia memerintahkan mereka untuk keluar dari kamar itu. Tapi sebelum mereka pergi, ia memberikan dua perintah kepada mereka: “Usirlah Al-Mushrikun [orang politeis, pagan, penyembah berhala, dan orang-orang yang tidak percaya kepada Keesaan Allah dan pada Muhammad utusan-Nya] dari jazirah Arab; hormatilah dan berilah pemberian kepada utusan-utusan asing sebagaimana kamu lihat aku bersikap pada mereka”.(52) (keterangan yang ada dalam kurung diatas ditambahkan oleh penerjemah Saudi terhadap hadith Bukhari; kata “Al-Mushrikun” secara umum diterjemahkan dengan “orang-orang yang tidak beriman”).
Orang-orang yang tidak beriman memenuhi pikirannya bahkan ketika ia sedang terbaring sakit. Beberapa tradisi Islam bahkan mengklaim bahwa orang-orang Yahudi telah “menyantet” Muhammad.(53) Ketika beberapa istrinya mulai mendiskusikan keindahan sebuah gereja yang mereka lihat di Abyssinia yang dihiasi dengan patung dan gambar yang indah, Muhammad bangkit dan berkata: “itulah orang-orang yang, apabila ada orang yang saleh diantara mereka meninggal, mereka membangun tempat ibadah di kuburnya dan kemudian mereka menaruh gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk di mata Allah”.(54) Ia menambahkan, “Allah mengutuk orang Yahudi dan orang Kristen karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah”.(55) Aisha berpendapat bahwa jika Muhammad tidak mengatakan hal ini maka “kuburnya akan kelihatan menyolok”.(56)
Kemudian orang-orang yang berkumpul di sekitar tempat tidurnya memasukkan obat ke dalam mulutnya, dan mengabaikan gerakan tangannya yang menolak perbuatan mereka. Ketika ia merasa lebih baik, ia bertanya kepada mereka, “Bukankah aku telah melarang kamu untuk memasukkan obat ke dalam mulutku?” mereka menjawab bahwa mereka mengira dia berlaku sama seperti orang sakit pada umumnya yang tidak suka minum obat, tetapi Muhammad tidak senang sama sekali. Sebagai hukumannya ia memerintahkan agar semua orang yang ada dalam ruangan itu ketika ia diberi obat juga harus meminum obat itu.(57)
Jika melihat kilas balik karir kenabiannya, Muhammad mengenang: “Aku telah diutus dengan berita yang singkat namun mengandung makna yang luas, dan aku telah dijadikan berkemenangan melalui teror (yang ditebarkan ke dalam hati musuh), dan ketika aku sedang tertidur, kunci segala harta di dunia dibawa kepadaku dan ditaruh di tanganku”.(58) Ini adalah satu dari pernyataannya yang paling menarik. Memang benar Qur’an itu cukup singkat, terutama jika dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru; entah isinya benar-benar memuat “makna yang luas” atau tidak, namun demikian Qur’an merupakan materi perdebatan para teolog. Bahwa ia dijadikan “berkemenangan melalui teror” adalah hal yang tidak dapat disangkali lagi, mengingat kehebohan karir kenabiannya yang diwarnai dengan perampokan, peperangan dan pembantaian.
Sudah tentu Muhammad tidak sedang berbicara mengenai teror yang dimengerti dunia modern sebagai terorisme, tetapi teror yang ditaruh Allah ke dalam hati orang-orang yang tidak beriman (bdk. Sura 3:151, 7:4-5, 8:12, 8:60, dll) – sesuatu yang dekat dengan apa yang dipahami oleh orang Yahudi dan orang Kristen sebagai “takut akan Tuhan”. Tetapi baginya, teror itu tidak dapat dipisahkan dari teror yang ditebar oleh para pejuangnya ke dalam hati para lawan mereka, karena baginya, mereka adalah alat-alat murka Allah. Dan tentu saja para pejuang itu, juga teologi yang menjanjikan mereka rampasan perang dalam dunia ini dan kesenangan fisik yang tidak berkesudahan di kehidupan berikutnya jika mereka berperang bagi Islam, akan menaruh ke dalam tangan Muhammad “kunci segala harta di dunia”. Semua harta itu akan menjadi milik orang Muslim – melalui teror, yaitu teror Allah.
Akhirnya kesudahan itu datang. Aisha berkata: “Itulah satu berkat yang Allah karuniakan kepadaku yaitu bahwa Utusan Allah wafat di rumahku pada hari giliranku saat ia sedang berbaring di dadaku, dan Allah membuat air liurku bercampur dengan air liurnya saat kematiannya”.(59) Ia mengatakan bahwa, “Utusan Allah meninggal dunia ketika ia berusia 63 tahun”.(60) Ketika itu tanggal 8 Juni 632 M.
Muhammad, sang penguasa Arabia, pendiri dan nabi Islam, hanya meninggalkan sedikit harta benda. Ia telah banyak menghabiskan hartanya untuk berjihad. Satu hal yang pasti diwariskannya untuk dunia adalah agama Islam. Dan selama berabad-abad, orang-orang Muslim yang menghormatinya sebagai teladan tingkah-laku yang paling sempurna akan sangat serius melakukan perintahnya untuk mengobarkan perang demi Islam.
Setelah Muhammad
Nabi Islam tidak dengan jelas menunjuk penggantinya; nampaknya sakitnya yang parah itu menyerangnya dengan tiba-tiba. Ia mempunyai beberapa putri, namun ia tidak mempunyai putra: satu-satunya anak laki-lakinya, yaitu Ibrahim, yang ibunya adalah selir Muhammad yakni Maria orang Koptik, meninggal ketika baru berusia 16 bulan. (“Jika Ibrahim hidup”, kata Muhammad, “aku tidak akan memungut pajak – yaitu jizya – dari setiap orang Koptik”).(61)
Menurut beberapa tradisi, Muhammad mengangkat Abu Bakr sebagai penggantinya: Aisha menyebutnya sebagai orang yang akan dipilih Muhammad jika ia harus memilih orang untuk menggantikannya. Nampaknya, selama ia sakit Muhammad memerintahkan agar Abu Bakr menggantikannya untuk memimpin orang Muslim bersembahyang (sebagai imam).(62) Dan tentu saja, setelah kematian Muhammad, Abu Bakr menjadi Khalif yang pertama.
Tetapi sekelompok orang Muslim tetap beranggapan bahwa sebenarnya Muhammad telah mengangkat Ali sebagai penggantinya. Sebuah tradisi mengatakan bahwa Muhammad bertanya kepada Ali, “Tidakkah engkau puas hanya mengabdi padaku seperti Harun mengabdi kepada Musa?”(64) Ini menyiratkan sebuah serah terima, karena di dalam Qur’an Musa berkata kepada Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku” (Sura 7:142). Namun demikian, Aisha menghina gagasan bahwa Muhammad telah memilih Ali untuk menggantikannya (mungkin ia masih teringat betapa sombongnya Ali yang telah mengingatkan Muhammad bahwa masih ada banyak wanita lain ketika ia dituduh telah berselingkuh). Ada yang mengatakan bahwa Muhammad telah mewasiatkan Ali sebagai penggantinya, Aisha menjawab, “Kapan ia mengangkat Ali melalui wasiat? Sesungguhnya, ketika ia wafat ia sedang beristirahat di dadaku (atau di pangkuanku) dan ia meminta sebuah baskom dan kemudian tidak sadarkan diri dalam posisi seperti itu, dan aku bahkan tidak tahu kalau ia telah meninggal, jadi kapan ia mengangkatnya melalui wasiat?”(65)
Kontroversi itu memanas pada tahun-tahun pertama Islam, karena Abu Bakr diganti oleh Umar dan kemudian Uthman. Masing-masing mereka ditentang oleh sekelompok Muslim yang berkeras bahwa pengganti Muhammad haruslah orang yang berasal dari lingkungan keluarga Muhammad sendiri (Ali adalah sepupu dan menantu Muhammad, suami dari putrinya Fatima). Akhirnya ia dipilih sebagai Khalif yang ke-empat pada 656 M, tetapi dibunuh pada tahun 661.
Shi’at Ali, atau Kelompok Ali, yang lebih dikenal dengan kelompok Syiah, tidak menyerah. Mereka memisahkan diri dari kelompok orang Muslim yang lebih besar dan menjadi lebih sengit berdebat, dan itu berlangsung sampai hari ini. Selama berabad-abad kelompok Syiah mengekspresikan kesalehan Islam dengan cara yang berbeda dari norma-norma yang dianut umat Muslim yang lebih besar yaitu kelompok Sunni (disebut demikian karena mereka menyebut diri mereka sebagai yang menaati Sunnah, atau tradisi, dari Muhammad).
Muslim Syiah hanya berjumlah sekitar 15% dari komunitas Muslim di seluruh dunia, tetapi mayoritas terbesarnya terdapat di Iran, juga mayoritas di Irak, dan segelintir kelompok minoritas di negara-negara Muslim lainnya. Mereka tetap merupakan sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan oleh kelompok Sunni. Pertikaian antara Sunni-Syiah di dalam Islam telah menimbulkan kekerasan yang tidak main-main selama berabad-abad, dan dalam abad 21 mengancam untuk meledak lagi menjadi perang terbuka di Irak, Pakistan, dan negara-negara lainnya.
Ini adalah sebuah warisan yang sepenuhnya bersumber dari sikap dan tingkah-laku nabi Islam.
Catatan Kaki
1. Ibn Ishaq, 544.
2. Ibid., 545.
3. Ibid., 546.
4. Ibid., 547.
5. Ibid.
6. Ibn Sa’d, vol. II, 168.
7. Sunan Abu-Dawud, book 38, no. 4346.
8. Bukhari, vol. 7, book 76, no. 5727; cf. online, vol. 8, book 82, nos 794-797.http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadith-sunnah/bukhari/ 082.sbt.html.
9. Bukhari, vol. 9, book 87, no. 6878.
10. Bukhari, vol. 9, book 88, no. 6922; cf. vol. 4, book 56, no. 3017.
11. Dr. Ibrahim B. Syed, “Is Killing An Apostate in the Islamic Law?” The American Muslim, April 2005.
http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/shariah_is_killing_an_apostate_in_the_islamic_law/.”Pbuh” stands for “peace be upon him,” and is commonly added by pious Muslims after they mention the name of a prophet.
12. Ibn Ishaq, 550-551.
13. Ibid., 552
14. Ibid., 552-553.
15. Ibid., 554.
16. Ibn Ishaq, 555. It is interesting to note that Emerick renders “The apostle killed men in Mecca” as “the Prophet of God fought in Mecca.” See Emerick, 254.
17. Ibn Ishaq, 567.
18. Ibid., 569.
19. Guillaume explains: “ha’it means wall and also the garden which it surrounds.”
20. Ibn Ishaq, 589.
21. Ibn Ishaq, 595-596.
22. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2941.
23. Bukhari, vol. 9, book 93, no. 7196.
24. Ibn Sa’d, vol. I, 306.
25. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4424.
26. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3618.
27. “Fight in the name of Allah and in the way of Allah. Fight against those who disbelieve in Allah. Make a holy war, do not embezzle the spoils; do not break your pledge; and do not mutilate (the dead) bodies; do not kill the children. When you meet your enemies who are polytheists, invite them to three courses of action. If the respond to any one of these, you also accept it and withhold yourself from doing them any harm. Invite them to (accept) Islam; if they respond to you, accept it from them and desist from fighting against them…. If they refuse to accept Islam, demand from them the Jizya. If they agree to pay, accept it from them and hold off your hands. If they refuse to pay the tax, seek Allah’s help and fight them.” Muslim, book 19, no. 4294.
28. Abu’l hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyyah (The Laws of Islamic Governance), Ta-Ha Publishers, 1996, 28.
29. Ibn Sa’d, vol. I, 310-311.
30. Ibn Ishaq, 602.
31. Ibid., 608.
32. Ibid., 609.
33. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2785.
34. Muslim, book 10, no. 31; cf. Bukhari, vol. 1, book 2, no. 25.
35. Ibn Ishaq, 645-646.
36. Ibid., 643.
37. Muslim, book 19, no. 4366.
38. Ibn Sa’d, vol. I, 328.
39. Ibn Sa’d. vol I, 328-329.
40. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3162.
41. Ibn Ishaq, 651.
42. Sita Ram Goel, The Story of Islamic Imperialism in India, Voice of India, revised edition, 1994, 44.
43. Ibn Ishaq, 675.
44. Ibid., 676.
45. Ibid.
46. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4430.
47. Muslim, book 31, no. 6005.
48. Bukhari, vol. 7, book 75, no. 5666.
49. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4450.
50. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4428.
51. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4439.
52. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4431.
53. Ibn Sa’d, vol. II, 244-245; Bukhari, vol. 7, book 76, no. 5765.
54. Bukhari, vol. 2, book 23, no. 1341.
55. Bukhari, vol. 5, book 64, nos. 4441; vol. 2, book 23, no. 1330.
56. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4441.
57. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4458.
58. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2977.
59. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4449.
60. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4466.
61. Ibn Sa’d, vol. I, 164.
62. Muslim, book 31, no. 5877.
63. Mukhari, vol. 1, book 10, no. 678.
64. Muslim, book 31, no. 5916.
65. Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741.
kacian banget enni blog jarang ada yang baca...hehe
ReplyDeletejangan cuma omong kosong doang..ambil dari sumber-sumber berbeda, lalu dengan mudahnya narik kesimpulan...beri bukti donk...mana foto atau video atau apa kek...haha
Malam membacanya. Sejarah yang panjang dan membosankan.
DeleteTerlalu banyak membaca yang salah maka otak jadi rapuh dan mengarah ke hal-hal yang salah.
Biarkan saja mereka.
Iman kita dipegang oleh diri sendiri bukan oleh orang lain.
Salam
menang BERSAMA
hidup adalah PERJUANGAN
Jangan bilang Blog ini tidak ada yang baca.
ReplyDeleteSebenarnya banyak yang baca, hanya tidak meninggalkan Comment, buktinya saya juga baca kan ?!
Untuk pemilik Blog, lanjutkan perjalanan mu, biar lebih banyak orang berwawasan luas, bisa berfikir panjang, dan tidak mudah menghasut dan terhasut.
Terima kasih banyak.
berani
ReplyDeletelanjutkan