Tuesday, February 23, 2010

Bab 5 - Seorang Pemberi Peringatan Yang Harus Berhadapan Dengan Hukuman Yang Mengerikan

· Oposisi mula-mula terhadap Muhammad dari sukunya sendiri.

· Evolusi pengajaran Qur’an mengenai peperangan terhadap orang-orang yang tidak beriman

· Ayat-ayat setan: usaha Muhammad untuk menang atas lawan-lawannya.

· Bagaimana para apologis Islam berusaha untuk menjelaskan insiden ayat-ayat setan.

· Perjalanan malam Muhammad ke Yerusalem.

Masalah-Masalah Dengan Orang Quraysh

Setelah Muhammad yakin, dan dengan bantuan Khadija dan Waraqah bahwa ia adalah seorang nabi, ia mulai berbicara secara sembunyi-sembunyi pada orang-orang tentang sebuah agama yang baru. Pada awalnya, substansi pengajarannya hanyalah monotheisme sederhana: “Ini adalah agama Allah yang telah dipilih-Nya untuk diri-Nya sendiri dan Ia telah mengirimkan rasul-Nya. Aku memanggil kamu kepada Allah, Dia yang tidak dipersekutukan, untuk menyembah-Nya dan meninggalkan al-Lat dan al-‘Uzza”.(1) Istrinya Khadija menjadi orang Muslim yang pertama, diikuti oleh Ali bin Abu Talib, lalu seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, yang di kemudian hari menjadi tokoh yang ternama dalam perpecahan antara kelompok Sunni dan Syiah, dan beberapa orang lainnya. Tiga tahun setelah kunjungan mula-mula dari dia yang kemudian dipercayai sebagai Jibril, yaitu yang terjadi pada sekitar tahun 610 M, Allah memerintahkannya untuk “memproklamasi-kan apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpaling dari politeisme.”(2)

Muhammad mengumpulkan kaum kerabatnya, orang-orang Quraysh, mendaki sebuah gunung dan menyerukan nama-nama berbagai klan Quraysh. Ia bertanya pada mereka, “Jika aku mengatakan padamu bahwa ada pasukan (musuh) di lembah yang berniat untuk menyerang kalian, apakah kalian akan percaya padaku?”

Mereka menjawab, “Ya, karena kami tidak ada mendapati kamu berbicara hal yang lain selain dari kebenaran.”

Tanggapan Muhammad terhadap hal ini adalah: “Aku adalah seorang yang memberi peringatan kepada kamu di hadapan penghukuman yang mengerikan.” Dengan kata lain, penghukuman yang mengerikan dari Allah akan lebih dahsyat daripada pasukan musuh.

Peringatan ini mengusik paman Muhammad, Abu Lahab, yang tidak percaya pada klaim kenabian keponakannya itu. Ia menegur Muhammad, “Kiranya tanganmu menghancurkan semua hari ini. Untuk tujuan inikah kau mengumpulkan kami?”(3) Sambil berpaling kepada kumpulan orang Quraysh, Abu Lahab berkata: “Tuan rumahmu telah menyihir kamu.” (4)

Allah sendiri memberikan kepada Muhammad tanggapan-Nya tentang Abu Lahab dalam sebuah wahyu yang baru: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali sabut” (Sura 111:1-5). Sebuah Hadith menginformasikan pada kita bahwa Abu Lahab “benar-benar celaka”.(5) Hadith itu tidak mencatat cara kematiannya, tapi ada satu kemungkinan yaitu: pada titik ini orang-orang Muslim tidak bermaksud menyerang musuh-musuhnya dengan serangan yang kejam.

Yahiya Emerick memberikan kisah ini sudut pandang yang baru dalam biografi apologetikanya mengenai Muhammad. Setelah Muhammad menyampaikan pesannya, ia berkata: “Abu Lahab, yang berdiri di dekatnya, mengutuki Muhammad dengan amarah dan mengatakan padanya bahwa ia harus mati. Muhammad menahan lidahnya (untuk berbicara), karena aturan adat/kuno untuk menghormati orang yang lebih tua terpatri dalam dirinya. Tak lama kemudian, beberapa ayat diwahyukan kepadanya, dan ayat-ayat itu mengatakan bahwa Abu Lahab-lah yang akan binasa”.(6)

Muhammad terus berdakwah namun tidak banyak mendatangkan pengaruh. Orang-orang yang meremehkannya bertanya padanya mengapa ia tidak mengadakan mujizat, memintanya untuk mengubah gunung-gunung di sekitar Mekkah menjadi emas untuk mereka, atau memulangkan mereka semua sekaligus sehingga pertanian mereka tidak terbengkalai. Allah menjawab kepada Muhammad: “Jika kamu menginginkannya, Aku akan bersabar dan memberi mereka lebih banyak waktu, atau jika kamu menghendakinya, Aku akan melakukan apa yang mereka minta, tetapi jika kemudian mereka tidak percaya, mereka akan dihancurkan sama seperti bangsa-bangsa sebelum mereka.”(7) Muhammad meminta agar mereka diberi waktu lebih banyak, dan memberi jawaban kepada musuh-musuhnya bahwa mujizatnya adalah Qur’an.



Pada suatu kesempatan seseorang dari kaum Quraysh memintanya untuk mengutus Gabriel atau malaikat-malaikat lainnya untuk mengatakan pada mereka agar percaya padanya: “Wahai Muhammad, sekiranya seorang malaikat diutus bersamamu untuk berbicara kepada orang-orang mengenai-mu dan supaya terlihat bersamamu.”(8) Tetapi Allah menjawab dalam sebuah wahyu bahwa untuk mengutus seorang malaikat, Ia harus membuatnya nampak sebagai manusia, dan itu akan membuat orang Quraysh kembali ke tempat dari mana mereka memulai (Sura 6:9). Ia menghibur Muhammad, mengatakan padanya bahwa hal itu sudah biasa dialami oleh para nabi sebelum dia: “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka” (Sura 6:10). Walaupun pada saat itu orang-orang Muslim hanyalah sekelompok kecil orang, kekerasan yang berkaitan dengan agama yang baru ini telah dimulai. Ibn Ishaq menceritakan:

“Ketika para sahabat Rasul bersembahyang, mereka pergi ke lembah-lembah yang dalam dan sempit sehingga bangsa mereka tidak dapat melihat mereka bersembahyang. Dan ketika Sa’d bin Abu Waqqas termasuk ke dalam bilangan sahabat-sahabat Nabi, di salah-satu lembah di Mekkah, sekelompok orang politeis mendatangi mereka saat mereka sedang sembahyang dan dengan kasar menginterupsi mereka. Mereka menyalahkan orang-orang itu atas apa yang orang-orang itu lakukan sampai mereka menjadi marah, dan saat itulah Sa’d memukul seorang politeis dengan tulang rahang seekor unta dan melukainya. Ini adalah pertumpahan darah yang pertama di dalam Islam.”(9)

Dengan berjalannya waktu, ada lebih banyak lagi pertumpahan darah. Tetapi Muhammad tidak memulai karir kenabiannya sebagai seorang pejuang, walaupun ia telah berpartisipasi dalam 2 perang lokal antara orang Quraysh yang adalah sukunya dengan klan tetangga.(10) Aktifitas utamanya adalah berdakwah walaupun isi khotbahnya itu mengancam para penyembah berhala di Mekkah dengan pemusnahan.

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang lalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya).

Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya.

Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya.

Mereka berkata: “Aduhai celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalim. Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi.” (Sura 21:11-15)

Orang-orang Quraysh sangat dikejutkan oleh pembunuhan yang dilakukan Sa’d bin Abu Waraqqas, dan ketika Muhammad mulai menyerang mereka dan berhala-berhala mereka dengan kebencian yang makin memuncak, mereka mulai melihat Islam dan nabinya sebagai sebuah ancaman. Dengan berjalannya waktu, mereka mulai balik menyerang. Menurut Ibn Ishaq, “mereka menghadapkannya dengan orang-orang bebal yang menyebutnya seorang pembohong, menghinanya, dan menuduhnya sebagai seorang penyair, seorang penyihir, seorang cenayang, dan kerasukan. Namun demikian, Rasul terus memproklamasikan bahwa Tuhan telah memerintahkannya untuk memproklamasi-kan, tidak menutupi apa-apa, dan meladeni ketidaksukaan mereka dengan menghina agama mereka dan berhala-berhala mereka, dan membuat mereka tetap dalam ketidak-percayaan mereka.”(11)

Hubungan orang Muslim dengan orang Quraysh menjadi semakin buruk sehingga ia berkata kepada sekelompok kecil pengikutnya: “Jika kamu harus pergi ke Abissinia (itu akan lebih baik bagimu), karena Raja tidak akan mentolerir ketidakadilan dan itu adalah sebuah negara yang ramah, hingga tiba waktunya Allah akan melepaskan kamu dari kesulitan kamu.”(12) Sejumlah orang Muslim melakukan apa yang disarankannya, tapi Muhammad sendiri tinggal di Mekkah dan terus berusaha membawa orang Quraysh kepada Islam.

Evolusi Dari Perintah Untuk Mengobarkan Perang

Pada suatu kesempatan, kemarahan dan frustrasi Muhammad atas kegagalannya untuk mentobatkan orang Quraysh kepada Islam telah memuncak. Ia mendekati sekelompok orang Quraysh di Ka’bah, mencium batu hitam, dan berjalan mengitarinya 3 kali. Pada putaran ketiga ia berhenti dan berkata: “Maukah kamu mendengarkan aku, wahai orang Quraysh? Demi Dia yang memegang hidupku dalam tangan-Nya, aku membawa pembantaian kepada kamu.”(13) Ini adalah sebuah nubuatan Muhammad yang di kemudian hari terbukti benar.

Karakter pesan Muhammad mulai berubah. Di awal karirnya ada 12 orang yang berpaling kepada Islam dari suku Kharaj di kota Medina berkumpul dengan Muhammad di kota Al-‘Aqaba, membuat apa yang kemudian dikenal dengan perjanjian ‘Aqaba yang pertama: sebuah sumpah kesetiaan kepada sang Nabi Islam. Salah-seorang diantara mereka menjelaskan: “Kami telah bersumpah kepada Rasul bahwa kami tidak akan mempersekutukan apapun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak membunuh keturunan kami, tidak menghina tetangga kami, menaatinya dalam apa yang benar; jika kami melakukannya maka surga akan menjadi milik kami; dan jika kami melakukan salah-satu dari dosa-dosa ini, kami akan dihukum di dunia ini dan ini akan menjadi penebusan kami; jika dosa itu ditutupi hingga Hari Kebangkitan, maka terserah kepada Tuhan untuk memutuskan apakah akan menghukum atau mengampuni.”(14)

Dalam sumpah ini tidak ada unsur mengobarkan peperangan oleh Islam. Tetapi setahun kemudian, sekitar tahun 622 M, hal itu berubah. Pada mulanya, Ibn Ishaq menjelaskan: “Rasul tidak diijinkan untuk berperang atau menumpahkan darah...Ia hanya diperintahkan untuk menghimbau orang kepada Allah dan untuk menanggung penghinaan dan mengampuni orang-orang bebal. Orang Quraysh telah menganiaya para pengikutnya, menggoda mereka dengan agama mereka, dan membuang yang lainnya dari negeri mereka. Mereka harus memilih antara meninggalkan agama mereka, diperlakukan dengan tidak baik di rumah mereka sendiri, atau meninggalkan negerinya, ada yang ke Abissinia, yang lainnya ke Medina.”

Namun kini waktu untuk mengampuni sudah habis:

“Ketika orang-orang Quraysh semakin kasar terhadap Allah dan menolak tujuan-Nya yang penuh kemurahan, menuduh nabi-Nya telah berdusta, dan berlaku buruk dan membuang mereka yang melayani-Nya dan yang memproklamasikan keesaan-Nya, yang percaya kepada nabi-Nya, dan taat kepada agama-Nya, maka Ia mengijinkan Rasul-Nya untuk berperang dan melindungi diri terhadap mereka yang bersalah kepada mereka dan memper-lakukan mereka dengan buruk.”(15)

Kemudian Ibn Ishaq menjelaskan perkembangan pewahyuan Qur’an tentang peperangan. Pertama-tama ia menjelaskan bahwa Allah mengijinkan orang Muslim untuk mengobarkan peperangan yang sifatnya mempertahankan diri:

“Tentunya Allah akan menolong mereka yang membela-Nya. Allah itu Maha Kuasa. Mereka yang kita jadikan kuat di negeri akan mendirikan sembahyang, membayar pajak orang miskin, melakukan kebaikan dan melarang kejahatan. Tuhanlah yang memiliki akhir segala sesuatu.(16) Ini berarti: ‘Aku telah mengijinkan mereka untuk berperang hanya karena mereka telah diperlakukan dengan tidak benar sementara satu-satunya penghinaan mereka terhadap orang-orang hanyalah karena mereka menyembah Allah. Jika mereka ditinggikan, mereka akan mendirikan doa, membayar pajak orang miskin, melakukan kebaikan dan melarang kejahatan, yaitu Nabi dan semua sahabat-sahabatnya.”(17)

“Ketika mereka ditinggikan”, dengan kata lain, mereka akan mendirikan sebuah negara islami, yang didalamnya orang Muslim akan bersembahyang dengan teratur, membayar zakat, dan memberlakukan hukum-hukum Islam (“melarang kejahatan”). Tapi itu bukanlah perkataan Allah yang terakhir berkenaan dengan situasi-situasi yang mengharuskan Muhammad untuk berperang:

Kemudian Allah berfirman kepadanya: Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi godaan”, yaitu hingga tidak ada lagi orang beriman yang digoda untuk meninggalkan agamanya. “dan agama itu milik Allah”, yaitu, hingga hanya Allah saja yang disembah.(18)

Ayat Qur’an yang dikutip Ibn Ishaq disini (Sura 2:193) memerintahkan lebih daripada perang defensif: orang Muslim harus berperang hingga “agama menjadi milik Tuhan” – yaitu, hingga Allah saja yang disembah. Hukum Islam di kemudian hari, berdasar pada pernyataan Muhammad, yang memberikan 3 pilihan kepada orang non-Muslim: bertobat kepada Islam, tunduk di bawah hukum Islam, atau perang.

Ayat-Ayat Setan

Tetapi usaha-usaha Muhammad untuk membawa sukunya kepada agamanya yang baru terus mendapatkan perlawanan – dan hal ini mengakibatkan terjadinya insiden yang terkenal yaitu Ayat-ayat Setan, diabadikan dalam novel karya Salman Rushdie yang juga menggemparkan. Pada 1989, Ayatollah Khomeini dari Iran mengeluarkan sebuah fatwa yang memerintahkan orang Muslim untuk membunuh Rushdie – sebuah hukuman mati yang kemudian ditegaskan lagi oleh para pemimpin Iran, walaupun belum ada seorang pembunuh pun yang telah melaksanakannya.

Berdasarkan tradisi Islam, Satan, bukan Allah, pada suatu kali pernah benar-benar berbicara melalui mulut Muhammad. Ayat-ayat yang diberikan Iblis kepada sang Nabi Islam kemudian dikenal sebagai “ayat-ayat setan”.

Muhammad menjadi frustrasi dengan ketidakmampuannya untuk mentobat-kan sukunya sendiri, yaitu orang Quraysh, kepada Islam. Menurut Ibn Ishaq, dalam sebuah bagian dalam Sira yang dijaga oleh Tabari, “Rasul kuatir akan kesejahteraan umatnya, ia berniat menarik perhatian mereka semampunya.” Pada kenyataannya, “ia merindukan sebuah cara untuk menarik perhatian mereka.” Namun demikian, pada akhirnya para pemimpin Quraysh-lah yang datang kepadanya dengan sebuah penawaran. Mereka akan memberikannya istri-istri dan uang, dan bahkan menjadikannya raja mereka – jika ia mau menerima syarat-syarat yang mereka ajukan. “Inilah yang akan kami berikan padamu, Muhammad, jadi berhentilah menghina dewa-dewa kami dan janganlah berbicara yang jahat mengenai mereka. Jika engkau tidak melakukannya, kami memberikanmu satu persyaratan yang akan menguntungkan kamu dan juga kami.”

“Apa itu?” tanya sang Nabi Islam.

“Kamu akan menyembah dewa-dewa kami, al-Lat dan al-‘Uzza, selama setahun, dan kami akan menyembah Tuhanmu selama setahun.”

Muhammad menjawab:”Biarlah aku melihat wahyu apa yang datang kepadaku dari Tuhanku”(19) Dan kemudian jawaban yang diterima sang Nabi Islam sangatlah negatif: Allah memerintahkannya untuk mengatakan pada orang-orang yang tidak beriman bahwa orang-orang Muslim tidak akan menyembah apa yang mereka sembah. (Sura 109:1-6)

Tetapi orang Quraysh bersikeras: “Muhammad, marilah kita menyembah apa yang kau sembah dan apa yang kami sembah, dan kami akan menjadikanmu rekan dalam semua yang kami kerjakan”. Tetapi Allah tetap memerintahkan Muhammad untuk tetap berdiri teguh (Sura 39:64-66).

Tetapi di balik posturnya yang tegak, Muhammad menginginkan sebuah solusi yang berimbang: “Ketika Rasul melihat kaumnya berpaling darinya dan ia merasakan kepedihan oleh karena mereka jauh dari apa yang dibawanya untuk mereka dari Allah, ia menginginkan sebuah wahyu dari Allah kepadanya yang dapat merekonsiliasi dia dengan kaumnya.”(20)

Ia berkata: “Aku berharap Allah tidak mewahyukan padaku apapun yang tidak disukai mereka.”(21) Dan akhirnya ia mendapatkan sebuah solusi. Ia menerima wahyu yang mengatakan bahwa adalah sah bagi seorang Muslim untuk bersembahyang kepada al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat, ketiga dewi yang dipuja para pagan Quraysh, sebagai para pendoa syafaat di hadapan Allah.(22) Tetapi kepedihan dan frustrasinya karena ditolak oleh kaumnya sendiri telah menguasainya: wahyu yang baru ini secara langsung berkontradiksi dengan substansi pengajarannya. Ia telah menghina al-Lat, al-‘Uzza dan Manat sebagai dewa-dewa palsu sejak permulaan proklamasi kenabiannya, atau bahkan sebelum itu jika catatan masa mudanya ketika ia berjumpa dengan rahib Bahira dari Syria adalah sesuatu yang dapat dipercayai. Haruskah monoteisme yang tidak kenal kompromi ini sekarang harus dikhianati demi adanya rekonsiliasi dengan kaumnya?

Rekonsiliasi nampaknya sudah dekat. Orang Quraysh bersukacita dan membungkukkan diri bersama Muhammad dan orang-orang Muslim setelah Muhammad selesai menyampaikan wahyu yang baru. Ibn Ishaq melaporkan: “Kemudian orang-orang itu berpisah dan orang Quraysh pun pergi, bersukacita akan apa yang telah dikatakan mengenai dewa-dewa mereka, dan berkata: ‘Muhammad telah menyanjung dewa-dewa kita. Ia menyampaikan apa yang telah ia baca bahwa mereka adalah Gharaniq yang dimuliakan yang syafaatnya telah diterima.’”(23)

Berita itu tersebar dengan cepat di kalangan orang Muslim: “Orang Quraysh telah memeluk Islam.”(24) Oleh karena perdamaian nampaknya sudah dekat, beberapa orang Muslim yang telah terlebih dahulu pindah ke Abissinia demi keamanan mereka kemudian kembali pulang. Namun seorang pemain penting dalam drama ini tidak sepenuhnya senang, yaitu: malaikat Jibril, dialah yang penampakkan dirinya kepada Muhammad telah melahirkan Islam. Ia datang kepada Muhammad dan berkata: “Apa yang telah kau lakukan, Muhammad? Engkau telah membacakan sesuatu kepada orang-orang ini yang tidak kubawa padamu dari Tuhan dan kamu telah mengatakan apa yang tidak dikatakan-Nya kepadamu.”

Muhammad mulai menyadari betapa ia telah melakukan sebuah kompromi yang parah. “Aku telah mereka-reka hal-hal melawan Allah dan telah memberi-Nya perkataan yang tidak dikatakan-Nya.”(25) Ia “sangat berduka dan sangat takut” terhadap Allah karena telah mengijinkan pesannya diselewengkan oleh Setan. Dan Allah memberikan Muhammad sebuah peringatan keras (Sura 17:73-75), namun sangat bermurah hati kepada Rasul-Nya:

“Maka Allah menurunkan (sebuah wahyu), karena Ia bermurah hati padanya, menghiburnya dan memberi terang atas urusan itu dan memberitahukan dia bahwa setiap nabi dan rasul sebelumnya menginginkan apa yang ia inginkan, dan mengharapkan apa yang ia harapkan, dan Setan menyuntikkan sesuatu ke dalam hasratnya itu seolah-olah itu berasal dari lidahnya. Jadi Tuhan membatalkan apa yang telah disampaikan oleh Setan dan Tuhan menetapkan ayat-ayatNya, seperti, engkau sama seperti para nabi dan para rasul.” (26)

Penghiburan ini diteguhkan di dalam Qur’an: ”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, dan Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Sura 22:52). Sudah tentu, semua itu adalah ujian dari orang-orang tidak beriman: “agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat”. (Sura 22:53)

Oleh karena itu, menurut Ibn Ishaq, Allah “menyingkirkan duka nabi-Nya, dan membuatnya aman dari rasa takutnya.” Ia juga menurunkan sebuah wahyu yang baru untuk menggantikan perkataan Setan mengenai al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat:

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”. (Sura 53:19-23).

Dengan perkataan lain, apakah Allah hanya mempunyai anak-anak perempuan sementara orang-orang tidak beriman mempunyai anak-anak laki-laki (“bagimulah anak-anak laki-laki dan bagi-Nyalah anak-anak perempuan”)? Bagi dunia Arab pada abad ke-7, itu sangat tidak masuk akal. Terlebih lagi, al-Lat, al-’Uzza dan Manat hanyalah imajinasi kaum pagan, “nama-nama yang telah kamu berikan, kamu dan bapa-bapamu, yang telah dinyatakan Allah sebagai sesuatu yang tidak benar.”

Muhammad kembali pada monoteismenya yang semula yang tidak kenal kompromi. Tidaklah mengejutkan ia kemudian menghadapi ketegangan yang lebih besar lagi dengan orang Quraysh. Ibn Ishaq melaporkan bahwa kaum politeis mulai menggunakan episode ini untuk melawannya:

“Ketika datang penghapusan kata-kata setan di mulut Nabi dari Tuhan, orang Quraysh berkata: ‘Muhammad telah berpaling dari apa yang ia katakan mengenai posisi dewa-dewa kamu dengan Allah, menggantikannya dan membawa sesuatu yang lain. Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharm ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (Sura 17:1). Tidak ada identifikasi Qur’an mengenai “Mesjid yang terjauh” dengan mesjid apapun di Yerusalem, tetapi Hadith memberikan kejelasan terperinci mengenai lokasinya dengan Yerusalem.

Penglihatan ini sama dramatisnya dengan perjumpaannya yang mula-mula dengan Jibril. Muhammad menceritakan penglihatan itu kepada seorang Muslim demikian “Ketika aku sedang berbaring di Al-Hatima atau Al-Hijr,” yaitu sebuah wilayah di Mekkah berseberangan dengan Ka’bah, yang menurut tradisi Islam merupakan tempat Hagar dan Ismail dikuburkan, ketika “Jibril datang dan membangunkan aku dengan kakinya. Aku duduk dan tidak melihat apa-apa dan berbaring kembali. Ia datang padaku kedua kalinya dan membangunkan aku dengan kakinya. Aku duduk dan tidak melihat apa-apa dan aku berbaring kembali. Ia datang kepadaku ketiga kalinya dan membangunkan aku dengan kakinya.” Dan “tiba-tiba seseorang datang padaku dan membelah tubuhku dari sini ke sini” – dan ia menggerakkan tangannya dari leher ke bawah perut. Dia yang telah datang kepadanya, Muhammad melanjutkan, “kemudian mengeluarkan jantungku. Lalu sebuah nampan emas penuh dengan iman dibawa padaku dan jantungku dicuci dan dipenuhi (dengan iman) dan kemudian dikembalikan ke tempatnya semula. Kemudian seekor binatang putih yang lebih kecil dari bagal dan lebih besar dari keledai dibawa padaku.” Ini adalah Buraq, yang kemudian dijelaskan Muhammad sebagai “seekor binatang yang putih dan panjang, lebih besar dari keledai tapi lebih kecil dari seekor bagal, yang menempatkan kakinya sejauh mata memandang.” Binatang itu, katanya “setengah bagal, setengah keledai, dengan sayap di kedua sisinya yang mempercepat laju kakinya.”

“Ketika aku naik untuk mengendarainya,” lapor Muhammad, “ia tersipu. Gabriel menaruh tangannya di surainya dan berkata, ‘Tidakkah engkau malu, wahai Buraq, apabila bersikap demikian? Demi Tuhan, tidak ada yang lebih mulia di hadapan Tuhan daripada Muhammad diantara yang telah mengendaraimu sebelumnya.’ Binatang itu sangat malu sehingga ia berkeringat dan berdiri dengan diam sehingga aku dapat menaikinya.”

Mereka pergi ke Temple Mount, dan dari sana menuju ke surga: “Aku dibawanya, dan Gabriel beserta dengan saya hingga kami mencapai surga yang terdekat. Ketika ia meminta agar gerbangnya dibuka, ia ditanyai, ‘Siapakah itu? Gabriel menjawab, ‘Gabriel’. Lalu ditanyai lagi, Siapakah yang menyertaimu?’ Gabriel menjawab, ’Muhammad’. Ia ditanyai lagi, ‘Sudahkah Muhammad dipanggil?’ Gabriel menjawab mengiyakan. Kemudian suara itu berkata, ‘Ia diterima. Betapa indahnya kunjungannya ini!’”

Muhammad memasuki surga pertama, dimana ia bertemu dengan Adam. Jibril berkata kepada Muhammad: “Inilah bapamu, Adam; berilah salam kepadanya.” Nabi memberi salam kepada manusia yang pertama itu, dan ia menjawab, “Engkau disambut, wahai putra yang saleh dan Nabi yang saleh.” Kemudian Gabriel membawa Muhammad ke surga yang kedua, dan disana peristiwa di gerbang diulangi lagi, dan setelah sampai di dalam, Yohanes Pembaptis dan Yesus memberinya salam: “Engkau disambut, wahai putra yang saleh dan Nabi yang saleh.” Di surga yang ketiga, Yusuf memberinya salam dengan kalimat yang sama, kemudian Muhammad dan Jibril melanjutkan perjalanan mereka, dan diberi salam oleh nabi-nabi lainnya di tingkap-tingkap surga berikutnya.

Musa ada di surga ke-6, yaitu untuk menghina orang Yahudi. “Ketika aku meninggalkannya”, Muhammad berkata, “ia menangis”. Seseorang bertanya padanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Musa berkata, “Aku menangis karena sesudah aku telah diutus (Muhammad sebagai seorang Nabi) seorang muda, yang para pengikutnya akan masuk ke Firdaus dalam jumlah yang lebih besar daripada para pengikutku.”

Di surga yang ke-7, Muhammad bertemu dengan Abraham, mendapatkan penglihatan-penglihatan lagi, dan mendapatkan perintah agar orang Muslim berdoa 50 kali dalam sehari. Ketika Muhammad memulai perjalanannya untuk kembali, ia melewati Musa, yang bertanya padanya, “Apakah yang telah diperintahkan kepadamu?”

Muhammad menjawab, “Aku diperintahkan agar menaikkan doa 50 kali sehari”. Musa memberinya sedikit nasehat: “Para pengikutmu tidak sanggup berdoa 50 kali sehari, dan demi Allah, aku telah menguji umat sebelum engkau, dan aku telah berupaya sekuat tenagaku dengan bani Israel (dan sia-sia saja). Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah pengurangan untuk meringankan beban para pengikutmu.” Maka Muhammad kembali pada Allah dan jumlah doa dalam sehari dikurangi menjadi 40, tetapi Musa beranggapan bahwa itu masih terlalu banyak. Nabi Islam terus bolak-balik dari Allah kepada Musa hingga jumlah doa orang Muslim dalam sehari menjadi hanya 5 kali. Pada titik ini Musa masih ragu kalau para pengikut Muhammad dapat memenuhi tantangan ini, dan ia berkata lagi: “Para pengikutmu tidak sanggup berdoa 5 kali sehari, dan tidak diragukan lagi, aku telah mempunyai pengalaman soal itu dengan umat sebelum kamu, dan aku telah mengupayakan yang terbaik dariku untuk bani Israel, jadi kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah pengurangan untuk meringankan beban para pengikutmu.”

Tetapi kali ini Muhammad tidak mau kembali. “Aku telah banyak meminta dari Tuhanku sehingga aku merasa malu, tapi aku sudah puas sekarang dan berserah kepada Perintah Allah.” Dan saat ia berangkat pergi, ia berkata, “Aku mendengar sebuah suara berkata, ‘Aku telah menurunkan Perintah-Ku dan telah meringankan beban Para Penyembah-Ku.”(38)

Sang Nabi Islam juga menceritakan tentang nabi-nabi lain kepada para pengikutnya: “Pada malam Al-Isra (perjalanan malam) (ke surga), aku melihat (nabi) Musa, dia seorang yang kurus dengan rambut yang panjang dan sedikit berminyak, kelihatannya mirip dengan salah-seorang dari suku Shanu’a; dan aku melihat Isa (Yesus) yang tingginya rata-rata dengan wajah merah seakan-akan ia baru saja keluar dari kamar mandi. Dan aku lebih mirip dengan Nabi Ibrahim (Abraham) lebih dari semua keturunannya yang lain. Kemudian aku diberi 2 cangkir, satu berisi susu dan satunya berisi anggur. Jibril berkata, ‘Minumlah apa yang kau sukai.’ Aku mengambil susu dan meminumnya. Jibril berkata, ‘Engkau telah menerima apa yang alamiah,” (agama yang Benar, yaitu Islam) dan seandainya engkau mengambil anggur, para pengikutmu akan tersesat.’”(39)

Ketika mereka mendengar kisah mengenai Perjalanan Malamnya, orang Quraysh kembali menghina Nabi Islam: “Demi Tuhan, ini benar-benar tidak masuk akal! Sebuah karavan memerlukan waktu sebulan untuk pergi ke Syria dan kembali dan dapatkah Muhammad melakukan perjalanan pergi pulang dalam semalam?” Karena ditantang oleh orang-orang yang pernah pergi ke Yerusalem, Muhammad mengklaim sebuah mujizat lagi sehubungan dengan Perjalanan Malam: “Ketika orang Quraysh tidak percaya padaku, aku berdiri di Al-Hijr dan Allah menunjukkan Yerusalem di hadapanku, dan aku mulai menggambarkannya pada mereka sementara aku sedang memandanginya”.(40) Saat ditanyakan berapa banyak pintu yang ada di “Mesjid yang terjauh”, Muhammad kemudian menjawab: “Aku tidak sempat menghitungnya satu per satu dan memberikan mereka informasi mengenai hal itu. Aku juga memberikan informasi mengenai karavan mereka, yang mana yang sedang dalam perjalanan dan tanda-tandanya. Mereka menemukannya seperti yang saya ceritakan.”(41)

Namun demikian, ternyata deskripsinya mengenai Yerusalem tidak serta merta meyakinkan orang: bahkan beberapa orang Muslim meninggalkan iman mereka dan menantang pengikut Muhammad yang paling setia, Abu Bakr, untuk melakukan hal yang sama. Abu Bakr sama sekali tidak setuju dengan hal itu: “Jika ia berkata demikian, maka itu adalah benar. Dan apa yang mengherankan soal itu? Ia mengatakan padaku bahwa komunikasi dari Tuhan dari surga ke bumi datang padanya dalam satu jam dalam sehari atau semalam dan saya percaya padanya, dan itu lebih dahsyat dari apa yang kalian pikirkan!”(42)

Allah menghibur Muhammad: “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka”. (Sura 17:60). Kemudian Muhammad nampaknya sudah tidak terlalu mengklaim bahwa ini adalah sebuah perjalanan fisik. Aisha menjelaskan: “Tubuh Rasul tetap tinggal di tempatnya tetapi Tuhan memindahkan rohnya pada waktu malam.”(43)

Perjalanan malam telah melekat erat dalam alam pikiran Muslim, hingga pada hari ini, yang mana itu menjadi dasar bagi klaim Islam terhadap Yerusalem sebagai salah satu kota suci Islam. Tetapi pada waktu pertama kalinya Muhammad berbicara mengenai hal itu, itu kemudian hanya semakin memperburuk hubungannya yang sudah tidak baik lagi dengan orang Quraysh.

Catatan Kaki:

1. Ibn Ishaq, 115.

2. Ibid., 117.

3. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4770.

4. Ibn Ishaq, 118.

5. Muslim, vol. 1, no. 406.

6. Emerick, 69.

7. Tafsir Ibn Kathir (Abridged), Darussalam, 2000. Vol. 6, 39-40.

8. Ibn Ishaq, 181.

9. Ibn Ishaq, 118; later in his biography Ibn Ishaq relates another tradition that places the killing by Sa’d bin Abu waqqas shortly after the Hijra.

10. Ibn Sa’d, vol. 1, 143.

11. Ibn Ishaq, 130.

12. Ibid., 146.

13. Ibid., 131.

14. Ibid., 199.

15. Ibid., 212-213.

16. Qur’an 22:39-40.

17. Ibn Ishaq, 212-213.

18. Qur’an 2:193, Ibn Ishaq, 212-213.

19. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al –Tabari, The history of al-Tabari, Volume VI, Muhammad at Mecca, W. Montgomery Watt and M.V. McDonald, translators, (New York: State University of New York Press, 1988), 107.

20. Ibn Ishaq, 165.

21. Ibn Sa’d, vol. I, 237.

22. Ibn Ishaq, 165-166.

23. Ibn Ishaq, 166. The Gharaniq, according to Islamic scholar Alfred Guillaume, were “’Numidian cranes’ which fly at a great height.” Muhammad meant that they were near Allah’s throne, and that it was legitimate for Muslims to pray to al-Lat, al-‘Uzza, and manat, the three goddesses favored by the pagan Quraysh, as intercessors before Allah.

24. Tabari, vol. vi, 109.

25. Ibid., vol. vi, 111.

26. Ibn Ishaq, 166.

27. Ibid., 166-167.

28. Haykal, “The Story of the goddesses,” in The life of Muhammad.

29. Emerick, 80.

30. Amstrong, 111.

31. Tabari, vol. vi, 107, 108.

32. Ibn Sa’d, vol. I, 236-239.

33. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4863.

34. Ibn Ishaq, 182.

35. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3887.

36. Muslim, book 1, no. 309.

37. Ibn Ishaq, 182.

38. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3887.

39. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3394.

40. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3886.

41. Ibn Sa’d, vol. I, 248.

42. Ibn Ishaq, 183.

43. Ibid.

1 comment:

  1. Sudah saatnya untuk tidak menyinggung dan menghakimi orang lain.
    Karena hanya Tuhan sajalah hakim yang adil.
    Salam santun
    menang BERSAMA
    hidup adalah PERJUANGAN

    ReplyDelete