Tuesday, February 23, 2010

Bab 6 - Muhammad Menjadi Panglima Perang

· Permulaan Islam yang sesungguhnya: ketika Muhammad menjadi seorang pemimpin militer

· Perjanjian antara orang Muslim dan Yahudi, dan bagaimana hubungan mereka menjadi rusak

· Penyerangan Nakhla dan permulaan kekerasan Islam

· Putusnya hubungan dengan orang Yahudi

· Muhammad memerintahkan agar perzinahan dihukum dengan dilempari batu

Hijrah

Pada tahun 622 M, bertahun-tahun setelah meningkatnya ketegangan dengan kaum Quraysh, Muhammad dan para pengikutnya akhirnya meninggalkan Mekkah menuju kota terdekat, yaitu Yathrib (sekarang dikenal sebagai Medina, yang merupakan kependekan dari Medina al-Nabi, atau Kota Nabi), atas undangan beberapa petobat Muslim di kota itu. Ini terjadi 13 tahun setelah dimulainya karir kenabiannya.(1) Perpindahan (Hijrah, atau seringkali dalam bahasa Inggris juga disebut Hegira) Muhammad dan orang-orang Muslim dari Mekkah ke Medina adalah sebuah titik balik yang besar bagi komunitas itu. Mereka tidak lagi menjadi sekelompok kecil orang yang teraniaya. Muhammad kini menjadi lebih dari sekedar pengkhotbah apokaliptis: ia adalah seorang pemimpin politik dan militer. Penting diperhatikan bahwa pada tahun terjadinya Hijrah inilah, dan bukannya tahun kelahiran Muhammad atau saat ia menerima wahyu untuk pertama kalinya - ..., yang menjadi tahun pertama dalam kalender Muslim. Awal mulanya Islam menjadi entitas sosial dan politik adalah permulaan kalender – bagi orang Muslim ini adalah sebuah peristiwa yang hampir sama pentingnya dengan keluarnya orang Israel dari tanah Mesir.

Setelah berdiam di Medina, karakter wahyu-wahyu Muhammad mulai berubah. Puisi-puisi apokaliptik yang singkat dan menawan yang mewarnai sura-sura awal Mekkah dalam Qur’an (yang kini banyak ditemukan di bagian belakan kitab tersebut, oleh karena Qur’an tidak disusun secara kronologis) mulai menjadi bahan-bahan yang bersifat prosaik yang panjang dan tidak saling berhubungan, yang umumnya merupakan hukum-hukum bagi komunitas yang baru ini.



Kebanyakan dari hukum-hukum ini diformulasikan dalam dialog dan debat dengan orang Yahudi di Medina. Kedatangan Muhammad di kota itu membawanya berhubungan erat dengan 3 suku Yahudi disana, yaitu Banu Qaynuqa, Banu Nadir, dan banu Qurayzah. Sejak awal mula karir kenabiannya, Muhammad sangat kuat dipengaruhi oleh Yudaisme, dimana ia menempatkan dirinya sendiri di antara jajaran nabi-nabi Yahudi, melarang para pengikutnya makan babi, dan menerapkan praktek bersembahyang beberapa kali sehari dan beberapa aspek ritual Yahudi lainnya pada orang Muslim. Kini ia mulai mencoba agar mereka menerima statusnya sebagai seorang nabi. Dalam satu setengah tahun setelah kedatangan orang Muslim di Medina, ia bahkan memerintahkan mereka untuk menghadap Yerusalem sebagai kiblat saat bersembahyang.(2)

Perjanjian antara orang Muslim dan orang Yahudi

Selama periode itu Muhammad membuat sebuah perjanjian dengan suku-suku Yahudi di Medina – “konstitusi dunia yang pertama” menurut orang Muslim. Ibn Ishaq menggambarkannya sebagai sebuah “kesepakatan yang bersahabat” antara orang Yahudi dan orang Muslim. Perjanjian itu juga memuat instruksi bagi kedua kelompok Muslim, para imigran (muhajiroun), orang-orang Muslim yang datang dari Mekkah, dan para penolong (ansari) yaitu orang Muslim yang bertobat di Medina. Dokumen ini menegaskan perbedaan yang tajam antara orang beriman dan orang tidak beriman yang akan menjadi penanda resmi dalam sejarah Islam, juga memberikan berbagai hak kepada orang Yahudi yang merupakan bayangan dari perlakuan orang Muslim di masa depan terhadap kaum dhimmi – yaitu para Ahli Kitab di tanah Islam. (Beberapa fitur kesepakatan ini digantikan oleh wahyu –wahyu yang diterima Muhammad dalam karirnya di kemudian hari, yang makin mempersulit orang non-Muslim, yang dampaknya masih dapat dirasakan).

Dokumen itu dimulai dengan mengumumkan bahwa semua orang Muslim, apakah mereka orang Mekkah atau Medina, adalah satu komunitas tunggal – suatu prinsip yang diyakini orang Muslim di sepanjang sejarah, walau tidak selalu dijunjung dengan kesehatian saat orang-orang non-Arab mulai bergabung dalam umma. Disini kesatuan semua orang beriman, dan perbedaan tajam antara orang beriman dan orang kafir digarisbawahi dengan jelas:

“Seorang beriman tidak boleh bersekutu dengan orang merdeka dari seorang Muslim lain yang melawannya. Orang-orang beriman yang takut kepada Allah harus memusuhi para pemberontak atau orang yang berusaha menyebarkan ketidakadilan, atau dosa atau permusuhan, atau korupsi diantara orang-orang beriman; tangan setiap orang harus memusuhinya bahkan seandainya ia adalah anak laki-laki dari salah-satu dari mereka. Seorang beriman tidak boleh membunuh sesamanya orang beriman demi seorang kafir, ia juga tidak boleh menolong seorang kafir melawan seorang beriman. Perlindungan Tuhan adalah satu. Sedikit dari mereka yang dapat memberi perlindungan kepada seorang asing dengan kekuatan mereka sendiri. Orang-orang beriman bersahabat satu sama lain dan tidak termasuk orang luar...Kedamaian orang beriman tidak dapat dibagi-bagi. Tidak ada damai boleh diadakan ketika orang beriman sedang berjuang di jalan Allah. Persyaratan-persyaratan harus adil dan setara bagi semua. Dalam setiap perampokan seorang penunggang kuda harus diikuti seorang penunggang lain di belakangnya. Orang beriman harus membalaskan darah sesamanya yang tertumpah di jalan Allah. Orang-orang beriman yang takut kepada Allah menikmati tuntunan yang terbaik dan benar. Tidak ada seorang politeis pun yang boleh mengambil properti atau orang Quraysh ke dalam perlindungannya dan juga tidak boleh campur-tangan terhadap seorang beriman. Barangsiapa yang dituduh membunuh seorang beriman tanpa alasan yang jelas ia akan menjadi sasaran balas dendam kecuali kerabat terdekat dipuaskan (dengan uang darah), dan orang-orang beriman akan berhadapan dengannya sebagai seorang laki-laki, dan mereka harus mengambil sikap terhadapnya”.

Dokumen tersebut juga menjelaskan hak dan kewajiban orang luar, menguraikan persyaratan-persyaratan yang relatif murah hati berkenaan dengan hak-hak Banu Auf (suku Auf) dan suku-suku Yahudi lainnya, memandatkan pertahanan bersama dan mengumumkan kerjasama tidak terbatas dengan orang Quraysh:

“Bagi orang Yahudi yang mengikuti kita ada pertolongan dan kesetaraan. Ia tidak akan dijahati dan musuh-musuhnya pun tidak akan dibantu...Orang Yahudi harus menyumbangkan biaya perang selama mereka berjuang bersama dengan orang-orang beriman. Orang Yahudi dari Bani Auf adalah satu komunitas dengan orang-orang beriman (orang Yahudi memelihara agama mereka dan orang Muslim memelihara agamanya sendiri), orang-orang merdeka mereka dan kaum mereka kecuali orang-orang yang bersikap tidak adil dan berdosa, karena mereka menyakiti diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Hal yang sama berlaku untuk orang Yahudi dari Banu al-Najjar, Banu al-Harith, Banu Sa’ida, Banu Jusham, Banu Aus, Banu Tha’laba dan Banu Jafna, klan dari Tha’laba dan Banu al-Shutayba”.

“Orang Yahudi dari Banu Auf adalah satu komunitas dengan orang-orang beriman” adalah pernyataan yang luarbiasa, dan yang tidak bosan-bosannya dikutip oleh para apologis Islam pada masa kini. Namun demikian, segera itu digantikan dengan pernyataan-pernyataan yang sanagt berbeda pada masa hidup Muhammad. Lebih jauh lagi, ketetapan pertahanan bersama mempunyai sebuah pengecualian. Orang Yahudi sepakat untuk berperang bersama orang Muslim “kecuali dalam perang suci”.(3)

Pertobatan Abdullah dan ketegangan-ketegangan dengan para rabi

Dibalik kedamaian yang ditawarkan oleh kesepakatan ini (jika hal itu memang benar ada – baik Muhammad maupun para pemimpin Yahudi tidak menyebutkannya dalam interaksi mereka berikutnya), hubungan Muhammad dengan para pemimpin Yahudi di Medina semakin memburuk. Mereka tidak dapat menerima gagasan bahwa ada seorang nabi dalam garis Abraham dan Musa yang berasal dari non-Yahudi, dan mulai “mengusik sang rasul dengan pertanyaan-pertanyaan”, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Ishaq.(4)

Tetapi salah satu dari rabi-rabi Yahudi, al-Husayn, yang juga dikenal sebagai Abdullah bin Salam (ada yang mengatakan Muhammad menamainya Abdullah setelah ia memeluk Islam), tidak memusuhi orang Muslim. Dengan mengulangi kisah-kisah mengenai Bahira sang rahib dan orang-orang lainnya yang mengakui Muhammad dengan deskripsi yang diperkirakan ada dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen, Abdullah sangatlah terkesan: “Ketika aku mendengar mengenai rasul aku tahu melalui deskripsinya, nama dan waktu kemunculannya bahwa dialah yang sedang kita nantikan, dan aku sangatlah bersukacita karenanya, walau aku tetap bungkam soal itu hingga rasul datang ke Medina”.

Ketika Abdullah mendengar bahwa Muhammad sedang pindah ke Medina, ia berteriak, “Allahu akbar” – Allah terlebih besar – dan bergegas untuk menemuinya.(5) Di hadapan Muhammad, ia bertanya padanya “mengenai tiga hal yang tidak diketahui siapapun kecuali ia adalah seorang nabi. Apakah tanda isyarat dari Waktu? Apakah makanan pertama orang-orang di Firdaus? Dan apakah yang membuat seorang bayi mirip dengan ayah dan ibunya?”

Nabi dengan tenang berkata kepadanya, “Baru saja Jibril (Gabriel) memberitahukanku tentang hal itu”.

Abdullah terperanjat. “Jibril?”

“Ya”, kata Muhammad.

“Dia, diantara para malaikat adalah musuh orang Yahudi,” kata Abdullah, saat Muhammad membaca sebuah ayat dari Qur’an: “Katakanlah: ‘Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Sura 2:97).

Kemudian ia meneruskan menjawab 3 pertanyaan Abdullah:

“Sebagai tanda pertama Waktu itu, akan ada api yang akan mengumpulkan orang dari Timur ke Barat. Dan yang menjadi makanan pertama bagi orang di Firdaus adalah tambahan cuping hati ikan. Dan jika seorang pria lebih dulu dipuaskan daripada wanita, maka anaknya akan mirip dengan ayahnya, dan jika wanita lebih dahulu dipuaskan daripada pria maka anaknya akan mirip ibunya”.

Mendengar jawaban ini, Abdullah langsung memeluk Islam dan mencela kaumnya sendiri, ia berkata, “Aku bersaksi bahwa La ilaha illallah (tiada yang lain yang patut disembah selain Allah) dan bahwa engkau adalah Utusan Allah, wahai utusan Allah; orang-orang Yahudi adalah pembohong, dan jika mereka mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam, mereka akan menuduhku sebagai seorang pembohong.(6)

Abdullah mengemukakan bahwa ia “menjadi seorang Muslim, dan ketika aku kembali ke rumahku aku memerintahkan keluargaku untuk melakukan hal yang sama”.(7) Ia meminta pertolongan Muhammad untuk membuat jebakan terhadap orang Yahudi: “Orang Yahudi adalah bangsa pembohong dan aku ingin agar engkau membawaku ke salah-satu rumahmu dan menyembunyikan aku dari mereka, dan tanyailah mereka tentang aku supaya mereka mengatakan padamu posisiku diantara mereka sebelum mereka mengetahui bahwa aku telah menjadi seorang Muslim. Sebab jika mereka tahu sebelumnya mereka akan mengatakan kebohongan besar mengenai aku”. Muhammad setuju, ia memanggil para pemimpin Yahudi dan menyembunyikan Abdullah, dan bertanya kepada mereka apa yang mereka pikirkan mengenai Abdullah. Mereka menjawab, “Dia adalah pemimpin kami, dan putra dari pemimpin kami; rabbi kami, dan tokoh kami yang terpelajar”.

Muhammad bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian pikirkan jika ‘Abdullah bin Salam memeluk Islam?”

Para pemimpin Yahudi berkata, “Kiranya Allah melindunginya dari hal ini!”

Jebakan itu mengena. Abdullah keluar dan berteriak: “Aku bersaksi bahwa La ilaha illallah (tiada yang lain yang patut disembah selain Allah) dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.(8) Wahai orang Yahudi takutlah akan Allah dan terimalah apa yang telah diutus-Nya bagimu. Karena demi Allah kamu tahu bahwa dia adalah Rasul Allah. Kamu akan menemukannya diceritakan di dalam Tauratmu dan bahkan namanya disebutkan. Aku bersaksi bahwa ia adalah Rasul Allah, aku percaya padanya, aku yakin dia benar, dan aku mengakuinya”.(9)

Tapi kini orang Yahudi berkata: “Abdullah adalah yang terburuk dari antara kami, dan putra dari orang yang terburuk dari antara kami”.

Abdullah berseru, “Wahai Utusan Allah! Inilah yang kutakutkan!”(10) Kemudian ia berkata, “Aku telah mengingatkan Rasul bahwa aku telah mengatakan kalau mereka akan melakukan hal ini, karena mereka adalah umat yang jahat, pembohong dan pengkhianat”.(11)

Kisah-kisah seperti ini meyakinkan orang Muslim di sepanjang sejarah bahwa kitab suci Yahudi (dan juga Kristen) benar-benar bersaksi tentang Muhammad dengan jelas. Sebuah tradisi Muslim lainnya mengatakan bahwa Muhammad pergi ke sebuah seminari Yahudi, dimana ia menantang para rabbi: “Bawalah orang yang paling terpelajar diantara kamu ke hadapanku”. Ketika orang itu maju, dia dan Muhammad berbicara secara pribadi. Akhirnya Muhammad bertanya padanya, “Tahukah kamu bahwa aku adalah Rasul Allah?”

Rabbi itu menjawab,”Demi Allah! Ya, dan orang-orang tahu apa yang kuketahui. Sesungguhnya gelar-gelar dan kualitas-kualitasmu dengan jelas disebutkan di dalam Taurat, tapi mereka iri padamu”.(12) Kebebalan penuh dosa orang Yahudi dan orang Kristenlah yang menghalangi mereka untuk mengakui hal ini - sesungguhnya, dosa itu sangatlah besar hingga akhirnya itu mengakibatkan mereka mengubah kitab-kitab suci mereka untuk menghilangkan semua referensi mengenai Muhammad. Gagasan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen adalah para pengkhianat yang penuh dosa terhadap kebenaran Islam kemudian menjadi batu penjuru dalam pemikiran Islam berkenaan orang-orang non-Muslim.

Muhammad menyusun sebuah doa singkat bagi orang Muslim, yang disebut dengan Fatiha (Pembukaan), yang menjadi baju penjuru doa Muslim (Fatiha diucapkan 17 kali dalam sehari oleh orang Muslim yang melaksanakan sembahyang 5 waktu) dan sura pertama dalam Qur’an:

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang menguasai hari pembalasan.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah pertolongan.

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka yang dimurkai

dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Sura 1:1-7).

Walaupun (doa) ini telah mempunyai status diantara analog Muslim terhadap doa Bapa Kami yang dimiliki orang Kristen, tetap masih mempunyai sisi polemis. Secara tradisional orang Muslim mengindentifikasi mereka yang ditimpa murka Allah dengan orang-orang Yahudi yang telah tersesat bersama orang Kristen. Komentator Qur’an Ibn Kathir (Isma’il bin ‘Amr bin Kathiral Dimashqi) (1301-1372) mewakili arus utama yang luas dalam tradisi Islam. Pakar Muslim Ahmad von Denffer menyebut komentari Qur’annya (tafsir) sebagai salah-satu dari “yang dikenal dengan baik” dan “kitab-kitab tafsir yang lebih berharga”, dan mengatakan bahwa tafsirnya merupakan “yang paling penting bagi orang Muslim”.(13) Di dalamnya, Ibn Kathir menjelaskan bahwa “kedua jalan ini adalah jalan orang Kristen dan orang Yahudi, sebuah kenyataan yang harus disadari orang beriman sehingga dapat dihindarinya. Jalan orang beriman adalah pengetahuan akan kebenaran dan berdiam didalamnya. Sebagai perbandingan, orang Yahudi meninggalkan praktek keagamaan, sementara orang Kristen kehilangan pengetahuan yang sejati. Inilah sebabnya ‘murka’ diturunkan atas orang Yahudi, sedangkan ‘tersesat’ lebih tepat dikenakan pada orang Kristen”.(14)

Orang-orang Munafik

Pada titik ini, menurut Ibn Ishaq, beberapa orang munafik (munafiqin) di Medina mulai membuat kesepakatan dengan orang Yahudi yang menentang Muhammad. Orang-orang munafik adalah para anggota suku-suku di Medina yang telah menjadi Muslim; mereka memeluk Islam karena takut dan kenyamanan, dan menurut sumber-sumber Muslim mula-mula, mereka mulai bersikap sebagai kelompok kelima dalam komunitas Muslim. Qur’an penuh dengan makian yang penuh kemarahan terhadap mereka dan rancangan-rancangan mereka terhadap Muhammad. Muhammad juga menerima wahyu-wahyu yang menyerang orang-orang munafik karena ketidakjujuran mereka, mengingatkan mereka akan penghukuman yang mengerikan yang menanti mereka, dan berbau frustrasi dan kemarahan terhadap sikap mereka yang bermuka dua (Sura 2:8-15).

Ada sebuah sura di dalam Qur’an yang dikhususkan untuk menceritakan ketidaktulusan dan penipuan orang-orang munafik, dimana Allah bersumpah bahwa Ia tidak akan mengampuni mereka:

“...Yang demikian itu karena mereka telah berkafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti. Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.. “(Sura 63:1-8).

Di satu sisi Muhammad melihat sekelompok orang munafik itu bercakap-cakap di dalam mesjid dan memerintahkan mereka agar diusir keluar. Ini dilakukan, kata Ibn Ishaq, “dengan sedikit kekerasan”.

“’Umara b. Hazm menemui Zayd b. ‘Amr yang berjenggot panjang dan memegang jenggotnya dan menyeretnya dengan kasar keluar dari mesjid. Kemudian dengan tangannya yang terkepal ia meninju dadanya dan merubuhkannya, sementara Zayd berteriak, ‘Kamu telah menguliti aku!’ ‘Tuhan menyingkirkan kamu, kamu orang munafik’, ia menjawab. ‘Tuhan mempunyai penghukuman yang lebih buruk yang disimpan-Nya untukmu, jadi jangan mendekati mesjid rasul lagi!’”(15)

Penyerangan Nakhla

Dengan adanya basis dukungan yang baru dan lebih kuat di Medina, Muhammad merasa lebih yakin untuk mengkonfrontasi orang Quraysh. Orang- orang Muslim mulai menyerang karavan-karavan Quraysh, dengan Muhammad sendiri yang memimpin banyak penyerangan ini. Penyerangan pertama yang dilakukan Muhammad adalah di sebuah tempat yang dikenal dengan Al-Abwa atau Waddan, dimana sang nabi Islam berharap untuk bertemu dan menguasai sebuah karavan Quraysh. Mereka tidak menemukan orang Quraysh disana, tapi selama ekspedisi itu Muhammad mengeluarkan sebuah keputusan ketika seorang Muslim bertanya kepadanya:

“Nabi melewati aku di sebuah tempat yang disebut Al-Abwa’ atau Waddan, dan ditanyai apakah boleh menyerang pejuang-pejuang Al-Mushrikun (orang yang tidak beriman) pada malam hari dengan kemungkinan besar membahayakan kaum wanita dan anak-anak mereka. Nabi menjawab, ‘Mereka (wanita dan anak-anak) berasal dari mereka (yaitu Al-Mushrikun)”.(16)

Sejak saat itu, non-Muslim yang tidak bersalah, wanita dan anak-anak secara sah juga menderita takdir para pria yang tidak beriman.

Penyerangan-penyerangan ini tidak semata-mata dirancang untuk membalas dendam terhadap orang-orang yang telah menolak nabi, yaitu orang-orang yang telah muncul dari antara mereka. Penyerangan-penyerangan ini mempunyai tujuan ekonomis, yaitu untuk membiayai pergerakan Muslim. Penyerangan-penyerangan ini juga menjadi suatu kesempatan formasi beberapa elemen kunci dari teologi Islam – seperti pada suatu insiden yang terkenal ketika sekelompok Muslim menyerang sebuah karavan Quraysh di Nakhla, sebuah perkampungan tidak jauh dari Mekkah. Muhammad mengutus salah-seorang letnannya yang paling dipercayainya, Abdullah bin Jahsh, bersama dengan 8 orang imigran - orang Muslim yang telah meninggalkan Mekkah untuk pindah ke Medina bersama Muhammad – dalam sebuah perjalanan. Ia memberi Abdullah sebuah surat dengan perintah agar ia tidak membukanya hingga ia telah melakukan perjalanan selama 2 hari.

Abdullah menurutinya. Ia membaca surat itu setelah dua hari perjalanan. “Jika engkau telah membaca suratku teruslah maju hingga engkau tiba di Nakhla di antara Mekkah dan Al-Ta’if. Tunggulah orang Quraysh disana dan cari tahu untuk kami apa yang mereka lakukan”. Abdullah curiga kalau misi ini berbahaya; ia berkata kepada yang lainnya: “Rasul telah memerintahkan aku untuk pergi ke Nakhla untuk menunggu orang-orang Quraysh disana supaya dapat membawa berita mengenai mereka untuk kita. Ia telah melarang aku untuk menekan siapapun diantara kamu, maka jika ada yang ingin menjadi martir baiklah ia terus maju, jika tidak, biarlah ia kembali; sedangkan aku akan terus maju seperti yang diperintahkan nabi”. Mereka semua pergi dengannya. Abdullah menggunakan kata “martir” (jihad) seperti yang digunakan para teroris zaman modern: berkaitan dengan orang yang (menurut wahyu yang datang kepada Muhammad di kemudian hari) “dibantai” bagi Allah (Sura 9:111), bukan seperti yang dipahami orang Kristen yaitu menderita hingga mati di tangan orang-orang yang tidak benar demi iman mereka.(17)

Abdullah dan komplotannya mencegat sebuah karavan Quraysh yang membawa kulit dan kismis. Mereka menganggap hal itu: “Jika kamu membiarkan mereka malam ini mereka akan tiba di wilayah suci dan akan aman dari kalian; dan jika kamu membunuh mereka, kamu akan membunuh mereka di bulan suci” – karena saat itu adalah hari terakhir di bulan suci Rajab, dimana perang tidak boleh dilakukan. Mereka memutuskan, menurut Ibn Ishaq, untuk “membunuh sebanyak mungkin diantara mereka dan merampas apa yang dipunyai mereka”. Dalam perjalanan pulang ke Medina, Abdullah menyisihkan seperlima dari rampasan itu untuk Muhammad. Ketika mereka kembali ke perkemahan Muslim, Muhammad menolak menerima bagian dari rampasan itu maupun berurusan dengan barang-barang itu. Ia hanya berkata,”Aku tidak memerintahkan kamu untuk berperang di bulan suci”. Ia juga berada dalam sebuah posisi politis yang tidak menyenangkan, karena orang Quraysh mulai berkata: “Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah mencemarkan bulan suci dengan menumpahkan darah, mengambil rampasan perang, dan mengambil tawanan”.(17)

Tapi kemudian sebuah wahyu yang menolongnya turun dari Allah, menjelaskan bahwa perlawanan orang Quraysh terhadap Muhammad di mata Allah lebih keras daripada pelanggaran yang dilakukan orang Muslim di bulan suci; oleh karena itu penyerangan itu kemudian dibenarkan. “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh” (Sura 2:217). Dosa apapun yang telah dilakukan oleh para perampok di Nakhla di bulan suci bukan apa-apa dibandingkan dosa-dosa orang Quraysh. Ibn Ishaq menjelaskan ayat ini: “Mereka telah menghalangi orang dari jalan Tuhan dengan ketidakpercayaan mereka pada-Nya, dan dari Masjidilharam, dan telah mengusir kamu darinya ketika kamu berada diantara kaumnya. Bagi Tuhan ini adalah perkara yang serius daripada membunuh orang-orang yang telah kamu bantai”.(18) Setelah menerima wahyu ini, Muhammad mengambil rampasan perang dan tawanan Abdullah. Abdullah menjadi lega, dan bertanya: “Bolehkah kita menganggap rampasan penyerangan itu sebagai upah bagi para pejuang?” Sekali lagi Allah menjawab dengan sebuah wahyu: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Sura 2:218). Penebusan Abdullah dan komplotannya sudah genap.

Ini adalah sebuah insiden yang penting, karena akan menetapkan sebuah pola: kebaikan diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan bagi orang Muslim, dan kejahatan diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang menyakiti mereka, tanpa mengacu pada standard moral yang lebih besar. Ketetapan-ketetapan moral disingkirkan demi memuaskan azas manfaat.

Perpecahan dengan orang Yahudi dan perubahan kiblat

Muhammad terus membujuk orang Yahudi untuk menerima status kenabiannya. Ia menulis sebuah surat kepada orang Yahudi di Khaybar, sebuah oasis sekitar 100 mil di utara Medina, menjelaskan siapa dirinya dan mengapa mereka harus menerima klaim-klaimnya. Surat itu dimulai dengan mengutip Qur’an dan mengemukakan bahwa orang Yahudi akan menemukan tulisan yang sama dalam Kitab Suci mereka. (Sura 48:29) lalu Muhammad menantang mereka secara langsung untuk mencari dalam kitab-kitab mereka tanda-tanda kedatangannya:

“Aku mendesakmu demi Tuhan, dan demi apa yang telah diturunkan-Nya padamu, demi manna dan burung puyuh yang telah diberi-Nya sebagai makanan kepada suku-suku kalian sebelumnya, dan demi perbuatan-Nya mengeringkan air laut bagi leluhurmu ketika Ia melepaskanmu dari Firaun dan pekerjaan-pekerjaan-Nya, agar kamu mengatakan padaku: ‘Apakah kamu menemukan dalam apa yang telah diturunkan-Nya padamu bahwa kamu harus percaya kepada Muhammad?”(19)

Disini Muhammad mengutip sebagian dari apa yang kini dikenal sebagai ayat yang paling terkenal dalam keseluruhan Qur’an, Sura 2:256, yang juga memuat pepatah, “Tidak ada pemaksaan dalam agama”. Namun demikian, kebaikan orang Yahudi di Arabia mengindikasikan bahwa ayat ini tidak dianggap bahkan dalam masa Muhammad sebagai sebuah undangan terbuka terhadap pluralisme keagamaan dan sebuah himbauan kepada orang Muslim untuk hidup berdampingan secara damai dalam kesetaraan dengan non-Muslim.

Beberapa tanda mengenai hal ini segera terlihat melalui akibat dari suratnya itu kepada orang Yahudi di Khaybar. Beberapa orang Yahudi menjawab tantangan Muhammad semampu mereka. Seseorang menjelaskan bahwa Muhammad “tidak membawa pada kita apapun yang kita kenal dan dia bukanlah orang yang kami bicarakan padamu” – yaitu, ia bukanlah Mesias yang dibicarakan orang Yahudi pada orang Arab sebelum Muhammad memulai karir kenabiannya. Sebagai responnya Muhammad menerima sebuah wahyu: “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu” (Sura 2:89). Seorang pemimpin Yahudi lainnya mengatakan bahwa “Tidak ada ikatan perjanjian yang dibuat dengan kami mengenai Muhammad”. Allah kemudian menjawab melalui nabi-Nya: “Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? Bahkan sebahagian besar dari mereka tidak beriman” (Sura 2:100).

Di sekitar waktu penyerangan Nakhla, Muhammad mulai menyerah/tidak yakin kalau orang Yahudi akan mau menerimanya sebagai seorang nabi. Sebelumnya, pada waktu Perjalanan Malam, ia telah secara tidak langsung membuat sebuah klaim bahwa ia mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan Abraham daripada mereka: “Aku lebih mirip nabi Ibrahim (Abraham) daripada semua keturunannya yang lain”.(20)

Pada titik ini ia menerima sebuah wahyu dari Allah yang memerintahkan orang Muslim untuk menghadap Mekkah dan bukannya Yerusalem ketika bersembahyang dan mengumumkan bahwa sembahyang dengan kiblat Yerusalem hanyalah sebuah ujian bagi orang beriman.

Kemudian Allah memberikan kiblat yang baru, mengatakan pada Muhammad bahwa itu akan memberinya sukacita: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (Sura 2:144). Wahyu itu bahkan mengemukakan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen (“para ahli kitab”) mengetahui bahwa kiblat orang Muslim yang baru adalah kiblat yang tepat: “Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (Sura 2:144). Orang-orang yang ingkar diperingatkan: “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam...” (Sura 2:150).

Berita tersebar dengan cepat diantara orang Muslim. “Sementara beberapa orang berada di Quba (persembahan) doa pagi, seorang pria mendatangi mereka dan berkata, ‘Semalam ayat-ayat Qur’an telah diwahyukan yaitu bahwa nabi telah diperintahkan untuk menghadap Ka’bah (di Mekkah), jadi kamu juga harus menghadap kesana’. Lalu mereka, tetap dalam sikap tubuh mereka, berpaling ke arah Ka’bah. Sebelumnya orang menghadap Sham (Yerusalem)”.(21)

Beberapa tradisi melaporkan bahwa beberapa rabbi menemui Muhammad pada saat itu dan mengatakan padanya bahwa mereka akan mengumumkan dia sebagai nabi dan menerima Islam jika ia mengembalikan kiblat umatnya kembali menghadap Yerusalem.(22) Sang nabi Islam menolak, dan menerima wahyu lainnya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata:’Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitulmakdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ katakanlah: ‘Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (Sura 2:142).

Setelah berhenti dari kecenderungannya mula-mula untuk membujuk orang Yahudi sebagai pihak otoritas berkenaan dengan apa yang telah diwahyukan Allah, Muhammad mulai mengkritik mereka karena menutupi sebagian wahyu. Pada satu kesempatan, nabi Islam menantang mereka sehubungan dengan hukuman yang tepat untuk satu pasangan yang telah dituduh melakukan perzinahan: “Apakah yang kamu dapati di dalam Taurat”, Muhammad bertanya pada mereka, “mengenai hukum rajam (lempar batu)?”

Orang Yahudi menjawab, “Kami mengumumkan kejahatan mereka dan mencambuk mereka”.

Namun demikian, pada titik ini Abdullah bin Salam yang tadinya adalah rabi Yahudi dan kemudian memeluk Islam bergegas menolong Muhammad. “Kamu berdusta”, kata Abdullah. “Taurat memuat hukum rajam”. Kemudian salah seorang Yahudi membaca dari Taurat, tetapi melompati ayat yang memerintahkan melempari batu pada seorang pezinah, menutupinya dengan tangannya.(23) “Angkat tanganmu!” teriak Abdullah, dan ayat itu kemudian dibaca apa adanya. Muhammad berteriak, “Celakalah kamu orang Yahudi! Apa yang telah membuat kamu mengabaikan penghakiman Tuhan yang kamu pegang di tanganmu?” Dan ia menambahkan: “Akulah yang pertama yang akan menghidupkan perintah Tuhan dan Kitab-Nya dan mempraktekkannya”.(24)

Muhammad memerintahkan pasangan itu dilempari batu sampai mati; seorang Muslim ingat, “Aku melihat pria itu berbaring di atas wanita itu untuk melindunginya dari batu-batu”.(25)

Episode ini tidak hanya mengungkapkan pemisahan yang tajam mengenai belas kasihan antara Yahudi dan Islam, tetapi kontras antara pengajaran Muhammad dengan pengajaran Yesus (“barangsiapa yang tidak berdosa boleh melemparkan batu yang pertama”) dapat sangat jelas terlihat – dan perbedaan yang telah membentuk sejarah, budaya, dan ide-ide mengenai kemurahan dan keadilan antara Muslim dan Kristen.

Catatan Kaki

1. Ibn Sa’d, vol. I, 261. This is the conventional dating; however, Ibn Sa’d also records other traditions that differ widely over the length of Muhammad’s stay in Mecca.

2. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4492.

3. Ibn Ishaq, 231-233.

4. Ibid., 239.

5. Ibid., 240-241.

6. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.

7. Ibn Ishaq, 240-241.

8. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.

9. Ibn Ishaq, 240-241.

10. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.

11. Ibn Ishaq, 240-241.

12. Ibn Sa’d, vol. I, 188.

13. Ahmad Von Denffer, ‘Ulum al-Qur’an: An Introduction to the Sciences of the Qur’an, The Islamic Foundation, 1994, 136.

14. Tafsir Ibn Kathir, vol. 1, 87.

15. Ibn Ishaq, 247.

16. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 3012. Other traditions (nos. 3014 and 3015) have Muhammad forbidding the killing of women and children.

17. Ibn Ishaq, 287-288.

18. Ibid., 288.

19. Ibid., 256.

20. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3394.

21. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4493.

22. Ibn Ishaq, 259.

23. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3635.

24. Ibn Ishaq, 267.

25. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3635.

1 comment:

  1. Belajar sejarah itu rumit.
    Benar tidaknya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan apalagi kalau ada konspirasi dibalik semua yang telah terjadi.
    Kita mau yang jelas-jelas saja.
    Salam damai
    menang BERSAMA
    hidup adalah PERJUANGAN

    ReplyDelete